ENSIKLIK
DEUS CARITAS EST

DALAM TINJAUAN
(Pendalaman)


Penulis:
Br. Rene Stockman FC, PhD
Pimpinan General Kongregasi Bruder Karitas
Roma - Italy
2007

Penterjemah: Br. Adrian FC

(c) Hak cipta ada pada Br.Rene Stockman FC
Tidak diperkenankan mencopy atau mencetak teks ini.
Anda dipersilahkan membaca sepuasnya


                                                                                                                        BAB I

DEUS CARITAS EST
P
ada tgl. 25 Januari 2006, Paus Benediktus XVI mempersembahkan surat ensikliknya yang pertama “Deus Caritas Est” (Allah adalah kasih).   Banyak yang terheran-heran bahwa Paus ini justru menuliskan suatu surat ensiklik tentang kasih;  bukannya tentang “Deus Fides Est” (Allah adalah iman) sebagaimana diharapkan banyak orang, mengingat jabatan Beliau sebelumnya sebagai Prefektur Doktrin Iman.  Namun rupanya Paus Benediktus telah memahami setelah mempelajari sekian lamanya, sama seperti Rasul Yohanes, bahwa semuanya ini berkisar pada kasih.  “Sahabat-sahabatku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi satu sama lain, karena kasih itu berasal dari Allah” (I Yoh 4, 7). 
Paus ingin memberikan jawaban terhadap lima pertanyaan, pemikiran sentral, dan tesis sbb.: 
  1. Kita tak boleh lupa bahwa kasih merupakan inti dan batu sendi dari hidup kristiani.
  2. Banyak yang telah dikatakan dan dituliskan tentang kasih dewasa ini.  Namun kasih macam apakah yang mereka rujuk?  Kasih duniawi ataukah kasih religius? 
  3. Di seluruh dunia kita mendengar bahwa kedermawanan sudahlah cukup.  Benarkah?
  4. Gereja makin lama makin dipojokkan dan dibungkam saat ia ingin bertindak dan berbicara.
  5. Bahkan dalam Gereja sendiri ada keragu-raguan tentang kedudukan diakonia karitas. 
I.1.  Allah adalah kasih: Refleksi teologis-teoritis.
Surat ensiklik tsb. mulai dengan teks Yohanes:  “Allah adalah kasih dan barangsiapa tinggal dalam kasih, tinggal dalam Allah, dan Allah tinggal dalam dia” (I Yoh. 4, 16).  Perintah kasih merupakan hakikat dari pesan Yesus dan merupakan puncak dari apa yang menjadi jelas dalam Perjanjian Lama, dalam hukum Taurat dan kitab para nabi:  “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, jiwa dan kekuatanmu” (Ul. 6: 5).  Yesus menggabungkan ini dengan perintah kasih terhadap sesama: “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Im. 19:18).  Dan karena Allah terlebih dahulu telah mengasihi kita (1 Yoh 4, 10), kasih tidak lagi menjadi “perintah” melulu; namun inilah tanggapan terhadap kasih Tuhan.  Kasih Tuhan bagi kita tidaklah terukur, maka sebagai balasannya kasih kitapun haruslah tidak terukur pula. 

Kini ada dua cara untuk membahas kasih ini: entah kita mulai dari kasih Tuhan dan berupaya mengambil kesimpulan-kesimpulan tentang kasih manusiawi, entah kasih manusiawi itu diperluas kearah kasih Tuhan.  Paus memilih metode kedua yang sangat orisinil dan bahkan berani, namun juga sangat baik, agar tidak berlambat-lambat dalam membahas hal rohani yang murni. 
Pola dasar dari kasih ialah kasih antara seorang pria dan seorang wanita, yang disebut eros  oleh bangsa Yunani.  Perjanjian Lama dan Baru tampaknya agak ragu-ragu menggunakan istilah ini, maka mereka menggunakan istilah agape, philia, dan caritas.  Nietzsche pernah berkata bahwa kristianitas telah merendahkan eros menjadi keburukan, eros menjadi sesuatu yang negatif.  Apakah pernyataan tsb dapat dibenarkan?  Apakah eros memang sesuatu yang negatif? 
Di antara bangsa Yunani, eros dipandang sebagai suatu jalan untuk mencapai kegilaan ilahi melalui semacam kemabukan.  Bentuknya mencakup semua ritus kesuburan dan yang disebut pelacuran kuil.  Bangsa Yahudi dalam Perjanjian Lama memandangnya sebagai suatu penyimpangan keagamaan, maka dari itu mereka menyatakan perang terhadap pendewaan palsu dari eros, dimana eros  dilepaskan dari martabatnya.  Ini bukanlah penolakan eros begitu saja, namun suatu reaksi terhadap salah satu bentuk tertentu daripadanya.  Itulah mengapa anggapannya ialah demikian:  eros  itu baik dan mulia, asalkan ia ditertibkan dan dimurnikan.  Eros itu lebih dari sekedar erotisme yang secara murni terfokus pada kenikmatan dan sangat berkaitan dengan praktek-praktek kuil Yunani.  Dalam erotisme, eros  menjadi suatu sasaran untuk menciptakan kenikmatan, dan tak lagi menjadi sarana untuk mengalami kasih antar manusia secara rohani dan jasmani.  Suatu eros yang dihayati dengan tepat, tanpa dualisme, itu mulia dan merupakan suatu cerminan dari kasih Tuhan.  Eros memimpin kita melampaui diri kita sendiri (kenikmatan kita sendiri) dan menjadi suatu karunia bagi sesama.  Oleh karena itu, eros selalu memerlukan aksen, penyembuhan, pemurnian, dan penolakan.  Kesejahteraan sesama menjadi sasaran, dan dari situ tumbuhlah kebahagiaan, kesenangan yang mendalam, baik secara jasmani maupun rohani. 
Perjanjian Lama menyampaikan bentuk kasih ini dengan sangat indahnya dalam kitab Kidung Agung.  Kitab tsb mengandung lagu-lagu cinta yang telah disimpan dalam Perjanjian Lama untuk merenungkan kasih Tuhan.  Santo Bernardus juga menggunakan Kidung Agung untuk merenungkan kasih Tuhan.  Dalam Kidung Agung, dua istilah digunakan untuk menunjukkan kasih, dan ada pertumbuhan dalam istilah-istilah tsb.  Pertama ialah istilah dodim, yakni kasih yang tidak aman, tidak pasti dan terus mencari-cari.  Istilah tsb digantikan oleh ahaba atau agape, yakni kasih penyerahan dan pengorbanan diri.  Kepentingan diri sendiri dikalahkan dan kasih kini menjadi perhatian dan kepedulian terhadap sesama.  Logislah bahwa hal ini berarti bahwa tindakan pemurnian kasih menghasilkan pertumbuhan hasrat yang tak terbatalkan dua kali lipat, yaitu secara eksklusif bagi satu orang dan untuk selamanya.  Dalam refleksi teoritis dan teologis ini, Paus berhasil merumuskan kesimpulan-kesimpulan yang sangat praktis tentang pernikahan monogami yang tak terceraikan sekarang dan selamanya. 

Eros, kasih, tetap menjadi kegembiraan yang luar biasa, namun tak lagi dalam arti suatu momen kemabukan sebagaimana di antara bangsa Yunani atau dalam arti suatu momen kenikmatan dalam budaya kita, namun terlebih mengorbankan diri sepenuhnya melalui penyerahan diri terhadap sesama, dan melalui sesama kepada Tuhan.  “Barang siapa yang berusaha memelihara nyawanya akan kehilangan, namun barang siapa yang kehilangan nyawanya akan menyelamatkannya”  (Luk. 17:33). 
Kini kasih Tuhan adalah baik eros maupun agape, baik kasih yang naik ke atas maupun turun ke bawah.  Ada beberapa gambaran yang indah tentang hal ini dalam Kitab Suci, misalnya tangga Yakub, dimana para malaikat naik turun.  Paus Gregorius Agung berkata sbb.: “Gembala yang baik haruslah berakar dalam kontemplasi.” Dia merujuk kepada Musa, yang memasuki kenisah dan kemudian tampil keluar untuk melayani bangsanya. 
Kita tak boleh memandang eros dan agape sebagai hal yang saling bertentangan; mereka justru saling berjalin dan segaris.  Bersama-sama mereka mewujudkan realitas kasih: agape sebagai eros yang dimurnikan.  Itulah cara manusiawi kita untuk memahami kasih Tuhan.  Bila eros dan agape saling dipisahkan satu sama lainnya, maka keduanya menjadi karikatur-karikatur: eros mengunci diri sendiri di dalam dan menjadi suatu kemabukan, sedangkan agape menjadi palsu dan kabur. 
Hal ini membawa kita kepada citra Tuhan yang baru, yakni Tuhan yang membutuhkan manusia dan yang mencari-cari manusia.  Dewa-dewi Yunani bersifat berdikari, mereka ciptaan manusia.  Allah Israel menatap bangsaNya, menyebut mereka sebagai umat pilihanNya, dan mengaruniakan Taurat sebagai ungkapan kodrat mereka yang sejati.  Selama jaman para nabi, Ia digambarkan sebagai Allah yang bergairah untuk terus-menerus mengampuni umatNya meski mereka telah berzinah.  Kasih penuh pengampunan menjadi keunggulan Tuhan.  “Inilah kasih yang demikian agung hingga memalingkan Tuhan dari diriNya sendiri, memalingkan keadilanNya demi kasihNya.”  Dan kasih inilah yang mencapai puncaknya melalui inkarnasi, yakni Sabda, Logos, yang menciptakan segala sesuatunya, menjadi daging.  Disinilah, kasih, eros, menjadi begitu agung sehingga ia memberikan dirinya sendiri dalam agape.  Eros menjadi agape.   
Namun hal ini membawa kita juga kepada suatu citra manusia yang baru.  Kitab Suci mengatakan bahwa Tuhan memberikan bantuan kepada manusia, daging dari dagingNya sendiri, dengan siapa Dia menjadi salah satunya.  Eros, usaha untuk mengasihi sesama, untuk memberikan diri kepada sesama, berakar dalam kodrat manusia itu sendiri.  Inilah dasar dari pernikahan monogami, yang sesuai dengan citra Tuhan monoteistik.  Karena cara Tuhan mengasihi manusia secara eksklusif dan tak bersyarat menjadi ukuran kasih manusia. 
Kasih Tuhan itu melampaui inkarnasi:  Dia wafat di salib.  Dia sepenuhnya mengorbankan dirinya sendiri demi menyelamatkan manusia dari maut.  Di sini, Tuhan adalah kasih sepenuhnya, dan kasih sajalah.  Inilah karunia yang ingin dilestarikanNya melalui ekaristi.  Tuhan terus menerus memberikan kasih yang terluhur ini pada setiap ekaristi, yakni dengan menjadi roti, kasih Tuhan menjadi nyata dalam kodrat manusiawi kita.  Logos atau Sabda menjadi daging, dan akhirnya roti, dengan membawa umat manusia bersama-sama. 
Ekaristi sebagai suatu konsekuensi, suatu dampak dan realisasi dari agape, melibatkan suatu dimensi sosial pula, yakni ia menyatukan umat manusia dan mendorongnya untuk menghayati dan mewujudkan agape ini diantara satu sama lainnya.  Dan kini, kita memasuki kasih sesama, kasih Tuhan yang menjadi sumber kasih sesama, dan yang digenapi dalam kasih sesama.  Pada setiap ekaristi, kita tentunya langsung ingat akan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati: suatu kasih yang umum – agape – yang harus dipraktekkan, tanpa dikurangi, dan langsung ke dalam hidup sehari-hari.  Mengasihi “tiap orang” atas dasar kasih universal Tuhan terhadap semua manusia haruslah digabungkan dengan kasih demi pribadi konkrit yang sedang lewat.  Ini menjadi kasih yang jauh dan dekat.  Kita secara khusus diajak untuk menyimak kriteria pengadilan (Mat. 25:31-36), dimana Yesus menyamakan dirinya dalam kaum miskin dan sakit:  “Sebagaimana kamu telah melakukannya terhadap salah seorang dari saudara-saudaraku yang terkecil ini, kamu melakukannya pula terhadapKu” (Mat. 25:40). 
Paus menyimpulkan bahwa kasih Tuhan dan kasih sesama telah menyatu: dalam diri saudara-saudari yang terkecil, kita jumpai Yesus sendiri, dan dalam Yesus kita berjumpa dengan Tuhan.  Jadi, kasih sesama dapat membawa kita kepada suatu perjumpaan dengan Tuhan; sesama menjadi seakan-akan pengganti Tuhan yang tak terlihat oleh kita.  “Jika ada yang berkata, ‘Aku mengasihi Tuhan’, namun ia membenci saudaranya, dia itu pendusta; karena dia yang tidak mengasihi saudaranya yang ia lihat, tak dapat pula mengasihi Tuhan yang tidak ia lihat.  Siapapun mengasihi Tuhan haruslah juga mengasihi saudaranya” (I Yoh. 4:20-21). 
Di situlah kasih merupakan sesuatu yang berbeda daripada suatu perasaan belaka; itulah mengapa ini merupakan suatu perintah, yang harus mengangkat perasaan-perasaan kita.  Dari visi inilah kita harus memandang karitas.  

I.2.  Karitas
“Seluruh aktivitas Gereja merupakan ungkapan kasih yang mencari kebaikan manusia yang integral: yang mencari penginjilannya melalui Sabda dan sakramen, dan yang berusaha mengangkat manusia dalam pelbagai arena kehidupan dan kegiatan manusiawi.  Selalulah ada tiga serangkai berikut ini:  Sabda, Sakramen, dan Diakonia.   Semenjak masa umat Kristiani pertama, saat Diakonia menderita (kurang diamalkan) oleh karena Sabda dan Sakramen lebih diutamakan, maka orang-orang yang memiliki pemikiran-pemikiran dan kebijaksanaan besar diangkat untuk melaksanakan Diakonia.  Ini kemudian menjadi tugas yang terpisah, namun dilaksanakan oleh orang-orang yang hidup dari Sabda dan Sakramen. 
Jadi boleh dikatakan karitas merupakan bagian dari hakikat kodrat Gereja.  Dalam sejarah, hal ini terus menjelma dalam hidup pertapaan, dan kita juga mempunyai sejumlah kesaksian kuat, seperti St. Laurensius yang menyebut kaum miskin sebagai harta Gereja; Yulianus “Si Pemurtad” (Kaisar pada th. 360) yang ingin mendirikan agamanya sendiri dimana ciri utamanya haruslah karitas, yang begitu mirip dengan umat kristiani. 
Diakonia pada hakekatnya merupakan kaitan antara Sabda dan Sakramen, maka dari itu ia bukanlah semacam pemberian bantuan yang dapat diangkat oleh sesama; namun merupakan bagian hakikat dari Gereja.  Bagaimanapun kasih mengajak semua umat kristiani untuk peka terhadap kebutuhan orang lain; agape membangkitkan karitas.  Namun kemudian muncullah sejumlah masalah.  Marxisme mencela kenyataan bahwa menurut dugaan usaha karitas gerejani menjaga struktur-struktur yang salah dan bahkan menguatkan kemiskinan.  Kaum miskin lebih membutuhkan keadilan daripada belas kasihan. 
Bagaimanapun perlu dikatakan bahwa negaralah yang harus mengusahakan tata sosial yang adil, jadi bukan Gereja. Maka Gereja tak dapat dituduh memelihara struktur-struktur yang salah bila negara mengabaikan tanggung jawabnya dalam hal ini.  Gereja memang ingin membantu membangun struktur sosial yang lebih baik; dan semenjak th. 1891, ia terus berjuang demi masyarakat yang lebih sosial melalui doktrin sosialnya sendiri.  Paus Yohanes Paulus II telah mempersembahkan sekurang-kurangnya tiga surat ensiklik tentang doktrin sosial, dan baru-baru ini, suatu kumpulan ajaran doktrin sosial Gereja telah diterbitkan. 
Kini bagaimana Gereja merealisir dan memupuk doktrin sosial ini?  Di atas semuanya itu, Gereja menghormati otonomi bidang temporal dan pemisahan antara Gereja dan Negara.  Namun demikian pemisahan tidaklah berarti bahwa tidak boleh ada atau tidak perlu ada keterlibatan timbal-balik.  Pembinaan hati nurani itulah yang menjadi tugas penting Gereja.  Dengan memurnikan nalar dan melalui pembinaan etika, Gereja memenuhi tugas politisnya.  Ini berbeda dari melaksanakan politik, karena sebenarnya Gereja hanyalah membantu mengembangkan kewarganegaraan yang baik. 
Di sisi lain, negara harus memberi Gereja ruang secukupnya untuk mempraktekkan agama.  Kebebasan beragama dan kebebasan berbicara merupakan hak-hak azasi.  Dan Gereja harus terus mempunyai ruang cukup untuk melaksanakan prakarsa-prakarsa karitasnya sendiri, mulai dari prinsip subsidiaritas.  “Tiada tata negara yang begitu adil sehingga dapat mengenyahkan kebutuhan layanan kasih.”  Jadi di dalam struktur-struktur tsb perhatian pribadi yang penuh kasih harus selalu dicurahkan.  Itulah sebabnya mengapa diperlukan pula ruang bagi prakarsa-prakarsa kristiani swasta untuk memberikan perhatian penuh kasih dalam struktur-struktur yang telah ada.  Kesimpulannya umat awam dipanggil untuk secara aktif turut ambil bagian dalam hidup publik mulai dari iman mereka, dan pada semua lapisan masyarakat, baik secara politis, ekonomis, sosial, legislatif, administratif, budaya, dll.
Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana kita dapat melihat karitas secara konkrit sebagai suatu terjemahan dari kasih Tuhan. Surat ensiklik ini memberikan sedikit pokok perhatian yang sangat khusus.  
  1. Karya perawatan telah makin menjadi suatu organisasi.  Ada bahaya yang sangat nyata akan hilangnya sentuhan dengan masyarakat.  Itulah sebabnya kita terpanggil untuk memberikan perhatian yang besar dan menetap terhadap pribadi aktual dalam layanan-layanan yang terorganisir.  Pentingnya kontak pribadi dalam hal ini sangatlah penting, demikian juga perjuangan menentang birokrasi.  Dalam hal ini, kita harus menunjukkan fakta bahwa ideologi kristiani dengan struktur-strukturnya telah menjadi suatu kebaikan umum, dan bahwa ilham kristiani yang khas itu telah lenyap.  Kita boleh berkata bahwa kristianitas telah menjadikan dirinya berlebihan pada suatu titik dimana masyarakat memakai nilai-nilai ini, namun kemudian kristianitas memiliki tugas baru, yakni memelihara nilai-nilai umum ini agar tetap bersifat kristiani.  Apa yang penting juga ialah kedudukan karya relawan.  Apakah perawatan orang sakit, misalnya saja, tidak terlalu ditarik menjauh dari tangan kaum non-profesional?  Dimanakah bantuan relawan, tanggung jawab keluarga, perawatan atas dasar karitas dan kriteria penilaian yang dinilai cocok dewasa ini?  Para pekerja relawan dalam lingkungan profesional dapat menjadi orang-orang yang bermata bersih, yang berupaya untuk menjaga kemanusiaan dan mengingatkan para profesional untuk tidak melupakan kemanusiaan ini.  
  1. Karitas haruslah diterapkan dalam profesionalisme. Karitas dan keahlian tidaklah bertentangan satu sama lainnya, namun berada pada garis yang sama.  Kita dapat merujuk dengan aman kepada mereka sebagai keahlian yang terilham.  Diperlukan pembinaan, namun juga pembinaan hati, pembinaan rohani dan momen-momen dimana ilham hadir secara jelas.  Sasarannya haruslah agar para rekan sekerja dibawa pada perjumpaan dengan Tuhan, yang membangkitkan kasih mereka dan membuka hati mereka terhadap sesama, sehingga kasih sesama tak lagi menjadi perintah yang dijalankan bagi pihak luar sebagaimana terjadi pada masa lalu, namun sebagai buah iman mereka, yang menunjukkan dirinya dalam kasih.
  1. Kita tak pernah ingin menggunakan kasih kristiani terhadap sesama untuk mengkristenkan orang lain atau untuk tujuan penyebaran agama.  Di negara-negara tertentu ini merupakan suatu masalah yang sangat sulit.  Karitas itu ditujukan setiap orang, bahkan bagi kaum beriman dari agama-agama lain pula.  Namun Tuhan masih perlu dibawa ke dalam visi dengan cara yang tak terbatas.  Dan kadang-kadang Tuhan bahkan diungkapkan secara diam-diam melalui karitas.  “Seorang kristiani tahu kapan waktunya untuk bicara tentang Tuhan dan kapan sebaiknya tidak berkata apapun dan membiarkan kasih sendiri yang berbicara.”
  1. Gereja selalu memiliki struktur-struktur untuk mengembangkan karitas, yaitu keuskupan-keuskupan, kongregasi-kongregasi, juga kaum awam harus terus mengambil tanggung jawab mereka dalam hal ini.  Adalah suatu keprihatinan yang berlangsung terus, khususnya di regio-regio kita, tentang bagaimana struktur-struktur ini dapat diteruskan saat kongregasi-kongregasi tak lagi mengandaikan tanggung jawab mereka.  Apa yang masih akan tetap menjadi identitas kritiani sesudah beberapa saat kemudian?  Dalam surat ensiklik ini, suatu himbauan diajukan demi terwujudnya bentuk-bentuk kerjasama yang lebih besar.  
  1. Untuk dapat mempraktekkan karitas dan untuk terus melaksanakannya dibutuhkanlah ilham.  Kristus sendiri harus tetap menjadi sumber kita, dan Dia akan membantu kita saat kita menghadapi rintangan-rintangan.  “Kasih Kristus mendorong kita” (II Kor. 5:14).  Apakah mereka yang terlibat dalam karitas benar-benar memandang tugas mereka sebagai suatu panggilan dan misi dalam Gereja, atau apakah keterlibatan Gereja itu hanyalah bersifat terbatas saja?  Dalam hal ini kita dapat memikirkan tentang masalah-masalah medis-etis yang menantang rumah-rumah sakit katolik dan cara dimana mereka mengambil pandangan Gereja sebagai pertimbangan.  
  1. Ada perbedaan yang jelas antara karitas dan kedermawanan.  Bidang kegiatannya bisa saja sama, namun sumber karya dan motivasinya berbeda.  Dalam kedermawanan, targetnya ialah meningkatkan situasi manusiawi dan kegiatan-kegiatan itu berhenti bila targetnya telah tercapai.  Dalam karitas, penyempurnaan kehidupan ini dipupuk dan dirangsang oleh kasih Tuhan dan setiap layanan menjadi suatu perjumpaan dengan Kristus yang hidup.  Menjumpai dan mengasihi Kristus dalam diri orang-orang sakit bersifat hakiki dalam karitas.
  1. Akhirnya, kita harus selalu memandang karya kita sebagai karya layanan dalam kerendahan hati.  Kita hanyalah alat-alat di tangan Tuhan, namun kita harus menjadi alat-alat yang baik.  Layanan dalam kerendahan hati ini menghilangkan khayalan dan ambisi kita untuk membantu setiap orang dan memenuhi setiap kebutuhan.  “Dengan segala kerendahan hati kita akan melaksanakan apa yang kita dapat laksanakan, dan dengan segala kerendahan hati kita akan mempercayakan sisanya kepada Tuhan.”

PERTANYAAN-PERTANYAAN – BAB SATU
  1. Apakah kasih Tuhan merupakan suatu kenyataan dalam hidup kita ataukah hanyalah suatu konsep teoritis belaka?
  1. Dapatkah kita menemukan gerakan ganda dalam nama kita, yakni Bruder-Bruder Kasih Ilahi dan Bruder-Bruder Kasih Sesama?  
  1. Jika kita memikirkan tentang kerasulan kita (baik secara perorangan, sebagai komunitas, atau sebagai kongregasi), apakah kita masih melihat banyaknya perbedaan antara karitas dan kedermawanan biasa?  
  1. Apa yang kita lakukan demi pembinaan hati baik bagi diri kita sendiri maupun bagi para karyawan kita?  
  1. Manakah kesulitan-kesulitan yang dijumpai dalam kerasulan kita (baik yang muncul dari lingkungan sekitar, dari pemerintah kita, maupun dari agama-agama lain)?


BAB II 

Allah Yang Bernama Kasih 
S
urat ensiklik “Deus Caritas Est” menyatakan bahwa Kitab Suci menghadirkan kepada kita suatu citra Allah yang baru.  Memang ada perbedaan yang sangat besar antara dewa dari para filsuf yang tidak membutuhkan seorangpun dan dewa yang merupakan proyeksi manusia.  Dalam politeisme, banyaknya dewa-dewi berkaitan dengan beragamnya realitas manusia.  Allah Israel diungkapkan dengan sangat jelas dalam doa Shema:  “Dengarlah, Israel: Tuhan Allah kita adalah satu-satunya Allah!”  (Ul. 6:4).  Hanya ada satu Allah, Pencipta langit dan bumi, dan oleh karena itu Dialah Allah segenap manusia.  Lagi pula karya penciptaan itu berharga bagi Allah.  Dia mengasihi manusia – sekali lagi betapa berbedanya dengan dewa dari Aristoteles, dewa yang tidak membutuhkan apapun dan oleh karenanya tidak mengasihi, namun selalu harus dikasihi saja.  Yang terunik ialah bahwa Allah Israel adalah tunggal, dan Dia mengasihi manusia dengan kasih ilahinya. 
  • Dia memilih suatu bangsa, jadi mengembangkan kasih atas dasar pilihan utama, untuk secara bertahap menjadi Allah dari semua bangsa.  Pilihan terhadap satu bangsa saja dilakukan demi kebaikan seluruh umat manusia:  Allah menggunakan tahap-tahapan manusia untuk mewahyukan diriNya sendiri. 
  • Dia memberikan Taurat kepada manusia, yang membuka mata manusia tentang kodratnya yang sejati, yakni bahwa dia diciptakan sesuai dengan citra dan keserupaan dengan Allah sendiri. 
  • Allah memperkenalkan diriNya melalui para nabi sebagai Allah yang mengasihi dengan penuh hasrat dan juga mengampuni.  Kasih penuh hasrat dilukiskan dengan istilah-istilah erotis dari kesetiaan dan ketidaksetiaan.  Pengampunan Allah berjangkauan luas: kasihNya begitu besar sehingga mempertentangkan Allah terhadap diriNya sendiri, dan kasihNya terhadap keadilanNya. 
  • Begitu besar kasih Allah terhadap manusia sehingga Dia mengambil kodrat manusia, mengikutinya dalam kematian dan oleh karenanya ingin hidup di antara manusia.  Ini merupakan kasih yang berkembang terus tanpa batas hingga ke surga. 
  • Kasih Allah ingin hidup di antara manusia secara nyata dalam ekaristi.  Dalam ekaristi, manusia dipersatukan dengan Allah dan dengan sesama.  Agape ekaristi membimbing kita, mengantar kita kepada karitas.  Dalam Ekaristi, perintah kasih dinyatakan selengkapnya.
2.1.    Allah Pengasih
Kasih Allah menjadi sumber kasih sesama, agape menjadi sumber karitas.  Namun, kita harus menyadari apa yang kita katakan dengan kalimat tsb karena kita berisiko menerapkan kasih Tuhan dalam makna faedahnya saja.  Kita perlu menanamkan kasih Tuhan agar kita mampu mengasihi sesama. 
St. Bernardus merenungkan secara mendalam pokok pikiran ini dalam bukunya “De diligendo Deo” (Perihal Kasih Allah):  “Mengapa dan bagaimana kita harus mengasihi Allah?”  Kardinal Haimeric mengajukan pertanyaan retoris ini, dan St. Bernardus memberikan jawaban sbb.:  “Allah adalah alasan mengapa kita mengasihiNya; cara kita mengasihiNya ialah tanpa batas.”  Dengan kata lain, satu-satunya alasan untuk mengasihi Allah ialah Allah sendiri.  Dialah segala-galanya.  Kita harus mengasihi Allah karena Dialah kasih itu sendiri.  Hakikat Allah adalah kasih; Allah adalah kasih belaka bagi manusia; satu-satunya yang tersisa untuk kita lakukan ialah mengasihiNya.  Itulah takdir kita – pengudusan hidup kita, yakni dengan terserap secara total oleh Allah yang adalah kasih.  Sungguh ini suatu hal yang hakiki dan sekaligus sukar.  St. Bernardus sadar akan hal itu dan meneliti kodrat manusia untuk mencari bagaimana manusia dapat mencapai kasih Allah dan apa konsekuensinya bagi manusia.  Dia melaksanakannya dalam empat tahapan. 

Tahap pertama:  kita mengasihi diri sendiri karena diri kita sendiri.  Mengasihi itu suatu hal yang alami bagi manusia.  Kodrat manusia tertuju pada mengasihi, apa yang disebut affectio naturalis; suatu hasrat kodrati yang kita miliki.  Tujuannya ialah kebahagiaan kita sehingga kita mengembangkan kasih-diri dan penerimaan-diri yang sehat.  Kasih-diri itu baik, namun kita harus menyadari bahwa ada bahaya untuk terkurung dalam diri kita sendiri, sehingga kita menjadi puas diri dan congkak.  Kita harus berusaha agar cinta diri kita bersifat sosial. Menurut St Bernardus, ini mustahil kecuali kita membiarkan Allah membantu dan memimpin kita. 
Jadi dia sampai pada tahap kedua, yakni kita mengasihi Allah karena diri kita sendiri.  Situasi manusiawi mengajarkan kita bahwa ada rintangan-rintangan alam perkembangan manusiawi kita.  Kita mengalami bahwa manusia tidaklah memiliki jawaban bagi semua pertanyaan dan nafsunya.  Jadi seorang beriman menangkap kebutuhan Allah.  Sakit dan derita, keterbatasan-keterbatasan kita mendorong kita untuk memohon pertolongan Tuhan:  “Ya Allah, bersegeralah menolong aku:  Tuhan, perhatikanlah hambaMu.”  Pada tahapan ini, kita ingin mengasihi Allah karena diri kita sendiri, karena kita berharap untuk menyempurnakannya.  Jadi kita berada di tengah-tengah jaringan utilitarianisme, dan beberapa dari antara kita terus terjerat dalam relasi dengan Allah seperti ini.  
Tahap yang ketiga berdasarkan pengalaman dicipta dan diselamatkan oleh Allah, percaya bahwa Allah tidaklah acuh tak acuh terhadap kita.  Hal ini dapat menumbuhkan keyakinan bahwa kita sesungguhnya dikasihi oleh Allah sesuai dengan keadaan kita apa adanya sebagai manusia.  Kini kita akan mengasihi Allah demi diriNya sendiri.  Kita mungkin terkuasai oleh kasihNya dan ingin menyadari bahwa hanyalah ada satu jawaban saja: mengasihi Allah demi diriNya sendiri, sama seperti Dia mengasihi aku karena kemanusiaanku.  Di sini kita berada pada taraf perintah pertama: mengasihi Allah dengan segenap hati kita, dengan segenap kekuatan, segenap jiwa dan pikiran kita.  Inilah pengalaman Tabor – betapa indahnya berada di sini, jadi marilah kita membangun kediaman kita di sini. 
Akhirnya kita terpanggil untuk memasuki tahap keempat, yakni menjangkau manusia, diri kita sendiri dan sesama dari kasih Allah.  Sekarang, kita mengasihi diri dan sesama karena Allah sendiri.  Manusia keluar menuju dirinya sendiri dan diri sesamanya dari kasih Allah, dan memandang sesamanya dari sudut pandang Allah.  Bagian kedua dari perintah kasih diwujudkan mulai dari bagian pertamanya.  Kasih Allah mendorong kita untuk menjangkau orang lain, siapapun tanpa pandang bulu.  
Kasih Tuhan menjadi prasyarat, bukan sarana, dari kasih sesama.  St. Vinsensius sangat menekankan hal ini:  “Kalau kalian harus meninggalkan doa untuk mengunjungi orang sakit, hentikanlah doa kalian, atau terlebih lagi teruslah berdoa.  Kalian meninggalkan Allah untuk pergi kepadaNya; kalian menjumpaiNya lagi dalam diri orang yang sakit itu.  Kalau kalian pergi ke orang miskin sepuluh kali sehari, kalian menjumpai Allah dalam diri mereka sepuluh kali pula.  Kalau kalian memasuki wilayah kumuh, kalian menjumpai Allah di sana.”  Ibu Teresa juga mengatakan hal serupa: “Jam kudus sebelum perayaan ekaristi haruslah memimpin kita pada saat kita berada bersama kaum miskin.  Peran serta kita dalam perayaan ekaristi takkan lengkap jika hal ini tidak mendorong kita untuk melayani dan mengasihi kaum miskin.”
 2.2.    Menyadari kasih Allah
Yang penting ialah bagaimana kita menjadi sadar akan hadirat Allah dalam diri kita, dan kasih Allah bagi kita.  Kami dapat melukiskannya sebagai berikut.  Allah hadir dalam diri tiap orang sebagai suatu ajakan, namun Dia menantikan persetujuan kita supaya menjadi aktif.  Dia menanti dalam diri kita untuk membukakan pintu hati kita bagiNya sehingga Dia dapat menjadi sangat aktif dalam diri kita, menguasai kita dengan kasihNya.  Dalam kasihNya kepada kita, Dia menghormati kebebasan kita, karena tepatnya kebebasan manusia itulah konsekensi kasih Allah, anugerahNya yang terbesar.  Bapa yang dengan penuh belas kasih mengijinkan putranya meninggalkan dia secara bebas sementara ia sendiri menantikan kembalinya puteranya itu merupakan purwa-rupa dari kasih Allah dalam hubungannya dengan kebebasan manusia.  Karena kasih tak dapat dipaksakan, maka Allah menantikan persetujuan kita untuk mengisi kita sepenuhnya dengan kasihNya. 
St. Teresia dari Lisieux menggunakan gambaran-gambaran kuat untuk melukiskan hal ini.  Seorang anak kecil mencoba untuk menaiki anak tangga pertama;  ibunya menatap dia dari atas tangga dan memberikan dorongan semangat kepadanya.  Ketika anak itu bisa mengatasi anak tangga pertama, ibunya segera turun ke bawah tangga untuk menggendongnya dan membawanya naik ke lantai atas.  Langkah pertama sudahlah cukup bagi ibu tsb untuk membawa anaknya ke lantai atas.  Contoh lainnya ialah tentang lift:  kita memasuki suatu lift, memencet tombol untuk mengangkat kita ke lantai yang kita kehendaki.  Yang kita perlukan hanyalah menekan tombol itu  – memiliki kepercayaan saja sudah cukup.  Hanyalah tekanan kecil pada tombol itu sajalah yang perlu; kita tak perlu melakukan apapun lainnya – percaya saja sudah cukup.  Namun, tekanan kecil pada tombol itulah tindakan kita, sumbangan kita.  Itulah bagaimana kasih dan rahmat Allah bekerja:  Dia menantikan kita untuk mengambil langkah pertama, untuk menekan tombol itu sehingga mukjizatnya akan terjadi.
Namun ada unsur-unsur perlawanan dalam diri kita, dan salah satu perlawanan utamanya ialah diri kita sendiri. Kodrat telah memberi kita keyakinan keras bahwa kita dapat bertindak sendiri, bahwa kita tidak memerlukan Allah, dan bahwa Allah itu tidak ada.  Ini boleh jadi keyakinan pribadi kita namun juga keyakinan lingkungan kita, masyarakat kita sebagai suatu keseluruhan yang terus-menerus menentang Allah: komunisme, sekularisasi, liberalisme, ateisme, dan relativisme.  Sebenarnya gabungan dari lingkungan sosial dan kejahatanlah yang mempengaruhi kita, khususnya kebutuhan kita akan realisasi diri.  Kita mengira bahwa Allah menghalangi realisasi diri kita; kita ingin mencapai realisasi diri dengan kuasa, barang-barang duniawi, dan kenikmatan.  Kita kenal akan godaan-godaan tradisional yang juga harus dikenali oleh Yesus semasa hidupnya dulu, yaitu mengubah batu menjadi roti (barang duniawi), meloncat dari bubungan kenisah yang tinggi (kenikmatan); dan menyembah setan (kuasa) – semuanya itu merupakan cara-cara untuk mendewakan diri kita sendiri, dan menyia-nyiakan Allah.  Jika kita ingin medewakan diri sendiri, sehingga Allah sendiri, tentu saja dengan cara kita sendiri, dikucilkan bersama dengan kasihNya. 
Kita tahu jawaban Yesus: Tidak. Kehendak Bapalah yang harus kuwujudkan dalam hidupku.  Aku harus membiarkan kasih Allah hidup dalam diriku dan mengabdiNya saja (Taurat).  Taurat dan kasih menjadi milik satu sama lainnya: mereka yang mengasihi Aku akan mematuhi perintah-perintahKu. Jadi, untuk mengaktualkan Allah dalam hidup kita, kita harus mengosongkan diri sendiri dari upaya memenuhi kenikmatan, kuasa dan barang-barang, untuk menyediakan tempat bagi Allah dan kasihNya.  Inilah kenosis atau pengosongan diri yang Yesus sendiri buktikan:  “Sekalipun ilahi dalam kodrat, Ia tidak menuntut kesamaan dengan Allah, tetapi ia menghampakan diriNya...” (Flp 2:6-11).  Inilah paradoks Injil: kalau kamu ingin menyelamatkan nyawamu, kamu harus kehilangan nyawamu.  Hal ini juga terjadi pada Bunda Maria: Sabda menjadi daging di dalam dia karena dia menyediakan tempat bagi Allah melalui persetujuannya.  Inilah bagaimana dia menjadi terpenuhi oleh rahmat Allah sehingga kita masih menyebutnya “penuh rahmat, Tuhan sertamu.”
Marilah kita berbalik kepada pribadi kita sendiri.  Kita merasakan kekosongan eksistensial yang ingin kita penuhi.  Kita merasa seakan-akan pribadi kita sendiri tidak mampu memenuhi diri kita.  Dalam kitab Kejadian, pria menerima wanita sebagai pelengkapnya, tulang dari tulang-tulangnya, daging dari dagingnya; inilah mengapa seorang pria akan bergabung dengan isterinya dan mereka menjadi satu tubuh. 
Namun pada diri kita yang terdalam ada kekosongan yang hanya dapat diisi oleh Allah. Dia telah memesan tempat ini bagi diriNya sendiri.  Oleh karena itu pentinglah untuk tidak mengisi kekosongan “kudus” ini dengan segala macam isi namun menjaganya untuk Tuhan dan hanya untuk Dia sajalah.  Kita tahu bahwa kekosongan ini takkan pernah terisi secara lengkap dalam hidup ini, tetapi memang baiklah demikian.  Rindu akan kegenapan selalu ada dalam diri kita.  Dalam mistisisme kita temukan teks-teks yang mentakjubkan tentang kekosongan yang berkaitan dengan kerinduan tak terpuaskan pada Tuhan, pada kasihNya. 
Pertanyaannya ialah bagaimana kita membuka diri kita setiap hari terhadap Sabda Tuhan, sehingga tidak hanya Sabda namun juga kasihNya dapat tinggal dalam diri kita, sehingga tak hanya Sabda namun juga kehendakNya dapat terjadi dalam hidup kita.  Hal ini mengandaikan dua syarat, yakni kerendahan hati dan penerimaan kelemahan serta kedosaan kita.  Ya, kita harus rendah hati dan mengakui bahwa kita tak dapat melaksanakannya sendiri.  Hal ini memerlukan penghampaan diri sendiri.  Dengan menerima kelemahan kita, kita membuka diri sendiri terhadap paradoks berikut ini: kalau kita lemah, maka kita kuat; kalau kita berdosa, maka kasih Tuhan datang kepada kita melalui pengampunanNya.  Mereka yang puas diri tidak merasa butuh kekuatan Tuhan ataupun rahmatNya, kasihNya atau pengampunanNya.  

2.3.    Kasih Allah menguatkan kita 
Thomas a Kempis menulis dalam buku “Mengikuti Jejak Kristus” demikian: “Ia yang mengasihi dibawa di atas sayap-sayap; dia berlari dan terpenuhi oleh sukacita; dia bebas dan tak terkekang.  Dia memberi semua untuk menerima semua, dan dia mempunyai semua dalam semua; karena di atas segala sesuatunya dia tinggal di puncak ketinggian, yang menjadi sumber aliran dari segala kebaikan.”  Inilah bahasa yang kuat dan memang kasih Allah mendorong manusia untuk mengembangkan kebaikan dalam dirinya.  Manusia sepenuhnya diubah: dia terbang, lari dan bersukacita.  Kalau manusia dipenuhi oleh kasih Allah, maka dia ingin bernyanyi dalam sukacita, terbang, berlari dan menyebarkan sukacitanya kemana-mana.  Itulah kasih Tuhan yang menganugerahi kita kebebasan sejati. 
Kebebasan disempurnakan jika didasari oleh kasih Tuhan.  Tetapi kita tahu bahwa kebebasan dapat mengurung kita dalam diri kita sendiri dan menjadikan kita budak-budak dari nafsu-nafsu kita sendiri.  “Dia memberi semua untuk menerima semua, dan dia memiliki semua dalam semua.”  Kasih Allah menjadi satu-satunya milik kita dan benar-benar memperkaya kita: ia memberi kita kenikmatan sejati, kekayaan sejati dan kuasa yang murni; hasrat-hasrat kita menemukan tujuan sejatinya dalam kasih.  “Namun karena aku masih miskin kasih dan tak sempurna dalam kebijakan, maka aku membutuhkan kekuatan dan penghiburanMu.”  Thomas mengakui kelemahan dan kedosaannya sendiri; dia merendahkan diri.  Itulah yang disebut kenosis atau penghampaan diri sendiri.
“Kasih itu sesuatu yang agung, suatu karunia yang serba baik, satu-satunya yang dapat meringankan beban, dan mampu mengangkat semua yang berat dengan mudahnya.  Ia mengangkat suatu beban tanpa merasakannya, dan membuat semua yang pahit menjadi manis serta nikmat.”  Kasih Allah sama sekali mengubah hidup kita.  Kekecewaan dan keputusasaan dilenyapkan.  Kasih menyingkirkan kekuatan asal dari kejahatan.  Thomas juga menutup renungannya dengan doa sbb.: “Perluaslah hatiku dengan kasih sehingga bibir-bibir jiwaku dapat merasakan betapa manisnya mengasihi itu, mencair dalam kasih dan mengapung di atas laut kasih.” Semoga kita juga memandang doa tsb sebagai doa kita sendiri. 
PERTANYAAN-PERTANYAAN – BAB DUA
1.       Menurut kita sendiri bagaimanakah citra Allah kita: Allah yang jauh; Allah Yang Maha Kuasa; Allah yang penuh kasih dan akrab dengan kita....? 
2.       Apakah pendapat anda tentang pandangan St Vinsensius mengenai doa? 
3.       Manakah rintangan-rintangan yang Anda jumpai dalam mengembangkan relasi kasih Anda dengan Allah? 
4.       Apakah Anda memiliki teks-teks lain yang bisa membantu Anda untuk mengalami kekuatan kasih Allah?


BAB III

Renungan tentang “eros” dan “agape”
Mulai dari Kidung Agung
B
ila surat ensiklik “Deus Caritas Est” menyebut dan menulis tentang eros, kita harus memandangnya dalam konteks visi holistik perihal manusia: manusia adalah suatu kesatuan badan dan jiwa.  Ini suatu gambaran manusia sebagaimana diungkapkan dalam kisah penciptaan: Allah menciptakan manusia dari tanah liat dan mengembuskan nafas kehidupan ke dalamnya (bdk. Kej. 2:7).  Memang kita mengasihi dengan badan dan jiwa.  Jika manusia hanya ingin menjadi jiwa dan menetapkan bahwa badan merupakan warisan hewani belaka, maka baik badan maupun jiwa akan kehilangan harkatnya.  Namun bila manusia hanya ingin menjadi badan saja, yang mana sering kita lihat di jaman sekarang ini, maka keduanya juga akan kehilangan harkatnya. 
Aspek jasmani dari kasih memang harus terus dimurnikan dan dimanusiawikan dengan mengkaitkannya dengan dimensi rohani.  Dalam kitab Kidung Agung pada Perjanjian Lama, kesatuan ini secara jelas dibahas, dan apa yang paling menyolok ialah cara positifnya dalam merujuk kasih manusiawi dan ungkapan jasmaninya.  Banyak yang merasa kagum bahwa kitab itulah yang dipilih oleh Paus Benediktus sebagai titik awal untuk menuliskan tentang kasih ilahi.  Beliau mungkin melakukannya dengan sengaja, dengan memandang bahwa eros seringkali disusutkan menjadi erotisisme.  Namun juga di dalam Gereja, kasih kadang kala dirujuk sebagai hal yang murni rohaniah.  Dengan surat ensiklik ini, Paus dengan jelas ingin memulihkan kesatuan antara badan dan jiwa. 
Kidung Agung merupakan suatu kidung kasih, suatu dialog antara dua kekasih, yang saling mencari satu sama lainnya, seperti Tristan dan Isolde, serta Romeo dan Yuliet.  Ini merupakan suatu kitab tentang kasih, yang sepadan dengan kisah penciptaan, dimana kasih manusiawi tercipta, dan mendahului keselamatan melalui Kristus, yang menciptakan dan memulihkan kembali kasih.  Kita boleh berkata bahwa ini adalah suatu triptik (lukisan dengan tiga panel), dengan Taman Eden pada panel yang pertama.  Kasih manusia disitu bersifat murni, tercipta dalam kemurniannya: “Mereka tidak merasa malu” (Kej. 2:25), inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.  Inilah dimana kasih manusia berada dalam bentuknya yang belum rusak.  Pada panel ketiga, kita melihat pernikahan Anak Domba, dimana misteri kejahatan dikalahkan.  Pada panel tengah, kita melihat kasih setelah kejatuhan dalam dosa, sebagaimana masih berlangsung saat ini, namun tentu saja dengan prospek keselamatan.  Marilah kita melihat panel ini secara lebih dekat lagi. 
3.1.    Kidung Agung 
Kitab ini mengisahkan tentang relasi antara seorang pria dan seorang wanita, dimana Allah hampir sama sekali tidak disebutkan di dalamnya.  Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, kita memandangnya sebagai suatu kelanjutan dari kitab Kejadian; penciptaan pria dan wanita dan hasrat untuk kembali ke keadaannya semula.  Sekarang, apa yang begitu menyolok dalam teks ini?  Tubuh pria dan wanita itu dijabarkan secara rinci dan sangat positif.  Wanita: “Oh, betapa manisnya engkau! Matamu bagaikan merpati...” (Kid. 4:1-4).  Pria: “Kepalanya seperti emas murni...” (Kid. 5:11-15).  
Di Eden, pengalaman kasih manusia bersifat transparan (tak ada rasa malu), ini merupakan integritas dari pasangan manusia, benar-benar tercipta dari dan untuk satu sama lainnya, tertuju kepada kesatuan total dari keistimewaan.  Dalam Kidung Agung, tekanannya terletak pada hasrat timbal balik, pencarian dan juga kekhawatiran akan kehilangan satu sama lainnya. Kasih digambarkan dengan indahnya: ia mendorong untuk menemukan sesama, bukannya kenikmatan pribadi, tetapi kesejahteraan sesama.  Seolah-olah ia berusaha untuk berkata: murnikanlah hasrat kepentingan diri demi sesama dan ubahlah itu menjadi pemberian terhadap sesama, dalam kasih yang pada akhirnya lebih kuat daripada maut. 
Kasih melibatkan pribadi secara menyeluruh, badan dan jiwa.  Jiwa menggerakkan badan.  Hal ini dengan indahnya disebutkan dalam “Deus Caritas Est” no. 7: “Eros dan agape takkan pernah terpisah sepenuhnya.  Jadi unsur agape masuk ke dalam kasih, karena jika tidak demikian eros dimelaratkan dan bahkan kehilangan kodratnya sendiri.”  Itulah yang terjadi di Eden, yakni tatanan ilahi, dengan mana pria menginginkan wanita dan yang menemukan puncaknya dalam kesatuan (daging dari dagingku), kini telah menjadi suatu tugas: manusia harus berjuang demi pernikahan monogami sesuai dengan citra monoteistik dari Allah, sebagaimana dinyatakan dalam “Deus Caritas Est” no. 11.  Pemakaian kata-katanya sungguh menyolok: ada evolusi dari “dodim” ke “ahabah”.  Dodim ialah kasih yang memabukkan (Kid. 5:1) dan berubah menjadi ahabah (agape), yakni kasih yang memberikan diri sendiri kepada sesama. Memang dikatakan bahwa kita harus hati-hati dalam mengasihi: “Janganlah menggerakkan atau membangkitkan kasih sebelum saatnya tiba” (Kid. 2:7).  Memang, kasih tetap berhubungan dengan nafsu, dan nafsu inilah yang dapat menghancurkan kasih.   
Bagian penutupnya sangatlah kuat:  “Kasih lebih kuat daripada maut” (Kid. 8:6).  Bahkan kalau seseorang mempersembahkan segala miliknya demi kasih, dia dapat ditolak dengan caci-maki.  Ini menunjukkan kelimpahan kasih, yang dapat diterjemahkan sebagai hal yang positif ataupun negatif.  St. Paulus berbicara tentang kasih dengan cara serupa:  Baik kehidupan atau kematian...  takkan mampu memisahkan kita dari kasih Allah” (Rom 8), dan ia berkata dalam suratnya kepada umat Korintus sbb.: “Jika aku tidak mempunyai kasih, aku tak berharga sama sekali” (I Kor 13:2).  Dalam Kidung Agung, kita melihat banyak unsur kasih manusia untuk direnungkan dan dipikirkan mulai dari Eden hingga Perjamuan Eskatologis, atau bagaimana eros memunculkan agape manusiawi yang masih harus berkembang lagi ke arah agape ilahi. 
3.2.    Terapan dalam selibat bakti sebagai status hidup dan kaul kemurnian kita
Kedengarannya seperti suatu tantangan jika kita harus merenungkan kasih manusia dan terapannya dalam selibat bakti kita.  Prakiraan dasarnya ialah bahwa kita ingin memandang seksualitas sebagai suatu yang diciptakan dan dikehendaki oleh Tuhan, dan kodrat relasional manusia tepatnya merupakan dinamika yang mendalam dari seksualitas ini.  Seksualitas kita memberi kita kemungkinan-kemungkinan relasional: orang saling merindukan satu sama lainnya, ingin berada bersama, dan ini terpusat dalam hasrat timbal balik, perjumpaan antara pria dan wanita.  Relasi antara seorang pria dan seorang wanita ini, yang memerlukan sifat eksklusif, merupakan purwa-rupa, nenek-moyang dari setiap perjumpaan antar manusia, dan secara positif terdorong oleh hasrat seksual. 
Seksualitas ini mewarnai seluruh kemanusiaan kita: organik-biologis (menentukan kepriaan atau kewanitaan kita), serta perasaan-perasaan kita, emosi-emosi kita dan hidup rohani kita.  Seksualitas mempengaruhi setiap dimensi kemanusiaan kita. Kita harus menerima kenyataan ini dengan positif dan menghayatinya dengan positif pula.  Inilah tugas setiap orang, bahwa kita harus mengatur, memusatkan energi seksual kita, dorongan-dorongan kita pada nalar dan moralitas, karena dorongan-dorongan itu sedemikian buta dan mereka mencari pemuasan langsung, sama seperti dorongan-dorongan kita lainnya, antara lain rasa lapar, rasa haus, dll. 
Kita berusaha berkata bahwa setiap orang terpanggil kepada kemurnian, yakni kontrol bebas atas dorongan-dorongan seksual kita; yakni memurnikan dan mengendalikan eros, sebagaimana dikatakan dalam “Deus Caritas Est” no. 4 dan no. 5.   Eros cenderung meningkat dalam ekstasi menuju yang ilahi, membawa kita keluar dari diri sendiri; namun untuk alasan ini ia memerlukan suatu jalan peningkatan, penolakan, pemurnian dan penyembuhan.  Eros harus ditertibkan dan dimurnikan jika ia harus memberi tidak hanya kenikmatan yang mudah berlalu, namun juga suatu prarasa tertentu dari puncak keberadaan kita, dari kebahagiaan yang dirindukan oleh keadaan kita seluruhnya. 
Memang setiap orang terpanggil untuk menjalani hidup murni dengan membawa seksualitasnya kepada nalar dan dengan terilhami kepadanya oleh Roh Kudus.  Dorongan-dorongan seksual kita haruslah dipadukan dalam kepribadian kita dan relasi-relasi antar-pribadi kita haruslah dimanusiawikan. Kemurnian harus memiliki tujuan untuk membuat relasi-relasi kita dengan diri kita sendiri, dengan sesama, dengan Allah dan lingkungan kita menjadi lebih otentik manusiawi.  Hal ini membawa kita kepada renungan pertama: apakah pantang seksual kita menghasilkan suatu pengayaan, pembatinan, pemanusiaan, pemurnian atas relasi-relasi kita?  Atau, apakah kita menjadi terpaksa dan putus asa? 
Saya selalu terkesan oleh lukisan Rasul Yohanes yang menyandarkan kepalanya pada bahu Yesus.  Ini merupakan suatu lukisan relasi yang murni, mutlak dan asli, yang sayangnya begitu sulit dipahami di jaman sekarang ini. Orang langsung melihat suatu relasi erotis homoseksual, dan juga Yesus yang bersahabat dengan St. Maria Magdalena sering dipandang dalam mentalitas yang tidak murni.  Memang ini mengatakan sesuatu tentang mentalitas yang tidak murni yang mempersempit eros menjadi erotisisme dan bukannya memurnikannya menjadi agape.  Mentalitas yang seluruhnya erotis ini dimana kita hidup saat ini dan dimana kaum muda kita terbenam di dalamnya, menyebabkan tak seorangpun mudah percaya bahwa ada mentalitas murni semacam itu. 
Orang bisa juga hidup berpantang (bertarak) tanpa menjadi murni.  Tarak atau pantang mendorong kemurnian kalau kita dimurnikan dalam relasi-relasi kita.  Di sisi lain, kalau kita menjadi keras dan terpaksa dalam relasi kita dengan diri kita sendiri, dengan sesama, dengan lingkungan kita dan dengan Allah, ini menandakan bahwa kita terikat oleh dorongan-dorongan kita, tanpa mengetahui bagaimana harus memurnikannya dengan sepantasnya, bagaimana memindahkannya kepada suatu tujuan yang baru. 
Dari pandangan tsb., kita mengerti bahwa eros dapat dialami baik dalam pernikahan maupun dalam selibat.  Karena dalam kedua status hidup tsb., orang ingin mewujudkan diri sebagai manusia dan sebagai sesama.  Dalam pernikahan, ini selalu merupakan suatu unsur afektif, sosial dan seksual.  Cinta kasih muncul di antara dua orang yang menjadi eksklusif (dimensi afektif); mereka bersatu dalam pernikahan (dimensi sosial) dan mereka mengungkapkannya secara seksual (dimensi seksual).  Dalam selibat, suatu jarak dari aspek-aspek afektif, sosial dan seksual yang terpenuhi dalam pernikahan tsb. akan dijaga.  Namun tak ada jarak terhadap perwujudan diri.  Dijaganya jarak dari aspek-aspek afektif, sosial dan seksual ini dikarenakan oleh adanya tujuan tertentu. 
Selibat bakti selalu melibatkan Kristus dan kedatangan KerajaanNya.  Khususnya ada motivasi mistik dan motivasi apostolik: orang ingin memberikan diri secara afektif kepada pribadi Yesus (motivasi mistik) dan orang ingin mengabdikan diri sepenuhnya demi KerajaanNya (motivasi apostolik).  Hidup bakti  selalu terfokus pada Kristus dan KerajaanNya, sebagaimana Yesus sendiri hidup sepenuhnya demi Allah dan kedatangan KerajaanNya.  Mereka yang dikaruniai anugerah selibat dari Allah menerima kebebasan dan kesediaan luar biasa untuk sepenuhnya memusatkan diri pada Yesus dan kedatangan KerajaanNya.  Ini menjadi upaya pencarian sepenuhnya dan satu-satunya dalam kehidupan. 
Nyatanya setiap orang harus hidup demi Yesus dan KerajaanNya, namun seorang religius terpanggil untuk menghayatinya dengan cara sangat khusus melalui status hidupnya.  Suatu janji dibuat melalui kaul kemurnian untuk menghayati hidup murni dalam kerangka selibat bakti, yang dapat terungkap dengan perkataan sbb.: “Saya membaktikan diri untuk menghayati hidup selibat menurut karisma lembaga ini demi Kristus dan KerajaanNya, dan untuk menghayati kemurnian kristiani dengan cara yang sesuai dengan status hidup saya yang melibatkan pantang seksual secara permanen.”
Jadi jelaslah bahwa cinta kasih antar-pribadi (unsur afektif), ikatan pernikahan (unsur sosial) dan ungkapan seksual (unsur seksual) haruslah ditolak, namun bukanlah pemenuhan hakikat seksual dan banyaknya relasi antar-pribadi yang konsisten dengan selibat bakti.  Inilah sebabnya mengapa kaul kemurnian harus membantu kita menjadi manusia sepenuhnya dan manusiawi sepenuhnya dalam selibat bakti kita, dan melaksanakannya secara murni.  Kualitas kaul kemurnian dapat diukur dari buah-buah yang dihasilkannya, yakni kebebasan kita dalam kasih, kelembutan, belas kasihan, keramah-tamahan dan pemberian diri, serta kebenaran dan kesahajaan yang menjadi dasar relasi-relasi seksual kita.  Ini memurnikan dan memanusiawikan eros, membiarkannya berkembang menjadi agape.   Namun terlalu sering  kita melihat kebalikannya: kekerasan, mencari kompensasi, ketakutan, namun juga keangkuhan karena orang percaya bahwa dia lebih baik daripada orang lain berkat hidup kemurniannya. 
Selibat bakti dan kaul kemurnian kita tidak meniadakan persahabatan (philia), namun justru sebaliknya.  Tetapi, apa itu persahabatan dan kapan ia dapat berubah menjadi kasih asmara yang biasa disebut persahabatan khusus.  Philia atau kasih persahabatan ialah suatu rasa kebajikan terhadap orang lain; orang ini baik terhadapku; dia memberiku perasaan positif (hal ini dapat dirujuk sebagai affectio naturalis atau suatu afeksi yang manusiawi).  Kasih ini, rasa kebajikan ini ingin mengukapkan diri melalui kelembutan: suatu pandangan, suatu sentuhan, suatu kata.  Tetapi pertanyaan akhirnya haruslah selalu dan tetap sbb: apa yang baik baginya dan bagiku, dalam arti status hidup dari kedua belah pihak, bagi pilihan-pilihan yang telah diambil.  Terruwe memperkenalkan konsep “kasih terkendali,” suatu kasih yang dapat mengendalikan diri sendiri dalam ungkapannya demi kesejahteraan kedua belah pihak.  Persahabatan sejati membebaskan dan tidak mendiamkan kesunyian batin, namun menghormatinya dan bahkan mendorongnya. 
Ciri-ciri persahabatan sejati ialah sbb.:
  • Bersih dari nada erotis atau ungkapan seksual;
  • Persahabatan ini ingin dibagikan dengan sesama dan tetap terbuka bagi persahabatan lainnya. 
  • Kristus dan kedatangan KerajaanNya tetap menjadi kutub-kutub keberadaan yang mendasar;
  • Terpadu dalam komunitas, sangat mutlak tidak mundur dari komunitas.
  • Membantu doa dan kerasulan.
Setiap persahabatan dapat diuji dengan ciri-ciri tsb. diatas.
Sebaliknya ciri-ciri kasih asmara ialah sbb.:
  • Ingin selalu bersama.
  • Menjadi relasi yang eksklusif dan bahkan posesif.
  • Ada hasrat untuk mengungkapkannya secara seksual.
  • Keseluruhan pribadinya terpikat olehnya dan Kristus beserta KerajaanNya menjadi sekunder. 
Purwarupa dari kemurnian dalam selibat bakti ialah Bunda Maria.  Dia dikandung tanpa noda dan tetap perawan demi Yesus dan kedatangan KerajaanNya.  Memang membuka diri bagi Allah dilaksanakan dengan pikiran dan badan; eros dipersembahkan kepada Allah sehingga ia dapat menjadi matang dan menjadi agape yang murni.  Itulah makna yang lebih mendalam dari selibat bakti kita.  Kemurnian selibat bakti haruslah diletakkan dalam konteks kasih, dan kasih Allah terhadap manusia inilah yang harus kita kembangkan dalam hidup kita, untuk mana kita harus secara bertahap menyediakan ruang lebih banyak, sehingga kita dapat menghayati kasih terhadap semua orang ini.  Kasih ini harus menjadi tafsiran satu-satunya dari hidup kita. 
“Kasih adalah ‘ekstasi,’ bukan dalam arti suatu momen kemabukan (erotisisme), namun terlebih sebagai suatu perjalanan, suatu “keluaran” yang berlangsung terus dari diri kita yang tertutup dan selalu melihat ke dalam, menuju kepada pembebasannya melalui pemberian diri, dan ke arah penemuan diri yang autentik serta sesungguhnya penemuan Allah sendiri”  (Deus Caritas Est N° 6).  Atau dengan menggunakan perkataan St. Lukas: “Barangsiapa berusaha menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya, namun barangsiapa kehilangan nyawanya akan menyelamatkan nyawanya” (Luk. 17:33).  Inilah jalan dari salib menuju ke kebangkitan, dan jalan kasih penyerahan diri: yang naik, turun, sebagai suatu rangkaian kesatuan.   
PERTANYAAN-PERTANYAAN – BAB TIGA
  1. Apakah kita memiliki pandangan yang positif dan realistis tentang tubuh, fisik, eros?
  1. Bagaimana kita memandang kaul kemurnian kita dalam konteks selibat bakti kita: apakah sebagai beban, sebagai karunia dan tugas, ataukah sebagai korban? 
  1. Apakah komunitas kita memberikan dukungan bagi penghayatan kaul kemurnian kita?  Apakah doa kita mendukung penghayatan kaul kemurnian kita?
  1. Dapatkah kita memberikan kesaksian positif tentang selibat bakti kita?  Apa yang menurut anda paling sulit dalam penghayatan selibat bakti anda di dunia jaman sekarang ini? 
  1. Apakah ada ruang bagi persahabatan dalam hidup anda?


BAB IV

                                              Kasih dan pengampunan
menurut pandangan “Deus Caritas Est”
dan “Dives in Misericordia”[1] 

“D
alam penyelesaian eskatologis, kerahiman akan menyatakan diri melalui kasih, sedangkan pada waktunya, dalam sejarah manusia yang merupakan sejarah dosa dan maut, kasih akan menyatakan dirinya secara khusus sebagai kerahiman dan demikian pulalah ia akan mewujudkan dirinya.” (Dives in misericordia, 8).   Visi yang sangat indah ini merupakan titik awal dari renungan kita tentang relasi antara kasih, kerahiman dan pengampunan.  

4.1.    Kasih dan pengampunan
Kita boleh berkata bahwa misteri kerahiman dan pengampunan ilahi seluruhnya berkaitan dengan kasih Allah.  Maka, marilah kita memikirkan tentang kondisi manusiawi yang berhadapan dengan penciptaan.  Bagi Allah, yang maha baik, pengasih, yang adalah terang, kekudusan dan kehidupan sempurna, Ia tidak dapat bertindak lain kecuali menciptakan semuanya dan segala sesuatunya dalam keadaan baik, penuh kasih, terang, kesucian dan kehidupan selamanya.  Sebagai konsekuensinya, sebagai hasil dari kasih yang tak bersyarat dan tak terukur ini, Dia memberi kita kebebasan. Melalui kebebasan ini kejahatan memasuki kondisi manusia dan mengacaukan kodrat manusia.  Kejahatan menciptakan keraguan tentang asal dan tujuan kita.  Adalah hakiki utuk mengetahui asal-usul kita, dalam Tuhan, dan mengetahui tujuan kita, yakni Tuhan.  Jika kita yakin akan hal ini, kita tak perlu cemas akan apapun.  Melalui kebebasan kita, keraguan mendasar tentang kodrat sejati kita ini, yakni sebagai mahluk Tuhan yang terkasih, menyelinap masuk.  Dosa bertentangan dengan kodrat ini. 
Kisah kejatuhan (dosa) memperlihatkan hal ini secara menyolok: manusia ingin menjadi asal dan tujuannya sendiri, dewanya sendiri (menjadi seperti dewa-dewi).  Kodrat manusia, meskipun semula baik adanya, telah disesatkan oleh dosa.  Ketika kejahatan menang atas kodrat manusia, Allah mengubah kasihNya menjadi kerahiman dan pengampunan.  Mereka dapat dipandang sebagai semacam mutasi: kasih abadi berubah menjadi kerahiman dan pengampunan selama dosa berkuasa dalam kodrat kita.  Kerahiman menjadi penangkal dosa.  Kasih Allah, sebagaimana ditampilkan oleh kerahimanNya terhadap manusia, begitu agung sehingga ia mengambil suatu bentuk jasmani dalam dunia manusia.  Inkarnasi Allah menjadi inkarnasi kerahimanNya. Supaya kerahiman Allah ini terjelma dalam diri Yesus, Santa Perawan Maria disiapkan secara khusus: dia dilahirkan tanpa noda dosa sejak saat St. Anna mengandungnya – yang dikandung tanpa noda.  Maria menerima buah kerahiman ini dengan sempurna sebelum melahirkan Kerahiman itu sendiri.  Dia menjadi putri sulung kerahiman sebelum dia menjadi Bunda Kerahiman. 
Penyelamatan manusia melalui Kristus tepatnya merupakan kerahiman Allah yang meresapi kondisi manusia seluruhnya, memecahkannya, dengan kata lain memurnikannya, dan menyingkirkan kesia-siaannya.  Kondisi manusia yang disesatkan oleh kejahatan itu menetap, namun kejahatan tak lagi memiliki kata akhirnya. Kerahiman menjadi obat pokok bagi dosa, bagi derita dan maut.  Namun kejahatan bertahan dalam mencoba meyakinkan kita bahwa kita tidak membutuhkan kerahiman Allah.  Itulah tragedi jaman kita sekarang ini: bahkan dalam Gereja, dosa disangkali sehingga jelaslah kita tidak membutuhkan kerahiman dan pengampunan lagi.  Namun, hal ini memisahkan kita dari realitas kasih Allah!
Kita harus mengajukan beberapa pertanyaan pribadi terhadap diri kita sendiri, sbb.:
  • Apakah kita masih berani mengenali dosa apa adanya, atau apakah kita lebih suka menyebutnya sebagai kelemahan, kekurangan, kebiasaan, dll.
  • Apakah kita yakin akan kenyataan bahwa dosa sunguh-sungguh berlawanan dengan kasih? 
  • Apakah kita menyadari bahwa dari segala penderitaan di dunia ini 20% penyebabnya di luar manusia (bencana alam, dll.), sementara 80%  disebabkan oleh dosa, yakni kesombongan, kecemburuan, iri hati, egoisme, kebencian, dendam, kenajisan, kenikmatan atas kuasa, dll. ?
Sakramen pengakuan harus dipandang sebagai suatu karunia kasih dimana kita menerima kasih Allah melalui perkataan pengampunan yang diucapkan oleh imam yang memungkinkan kita berbagi kerahiman Allah.  Bukankah itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh St. Paulus kepada kita: “Bila aku lemah, maka aku kuat...”  karena Allah menjumpai kita dengan kekuatanNya.  Saat kita mendoakan doa Yesus, dengan mengakui kedosaan kita, kita juga memohon kerahiman Allah dimana kita menerima kasihNya.  

4.2.    Menerima dan memberi pengampunan
Kapan saja kita menerima pengampunan dalam sakramen pengakuan, Yesus mengulangi kisahNya tentang pencuri yang baik hati dan wanita yang berzinah.  Pencuri itu berkata kepada Yesus yang tersalib:  “Ingatlah akan daku bila Engkau memasuki kerajaanMu.”  Yesus menjawab: “Sungguh Aku berjanji padamu, hari ini juga kamu akan berada bersamaku di surga.” Inilah kanonisasi yang pertama!  Permohonan sederhana “ingatlah akan daku” menerima suatu jawaban besar, “surga.”  Jawaban ini tidak seimbang dengan permohonan tsb., begitupun tidak ada keseimbangan antara dosa kita dan pengampunan Allah. 
Pengampunan merupakan anugerah yang sama sekali cuma-cuma, tidak berkaitan dengan jasa-jasa, karya-karya baik dan perilaku baik kita.  Ini menyatakan kepada kita sesuatu tentang kualitas menerima pengampunan dan pemberian pengampunan kita kepada sesama. Pengalaman kasih Allah ditandai oleh pengampunan:  kasih Allah sedemikian agungnya sehingga Dia tak pernah menolak untuk mengampuni kita.  Karena pengampunan dan kasih inilah, manusia dapat berkembang dalam keadilan.  Ini sangat berbeda daripada pernyataan maaf biasa!  Sekaligus dalam hal ini ada gerakan dua arah: “Manusia mengampuni sebagai manusia, namun Allah mengampuni manusia sebagai Allah.  Ada perbedaan yang demikian besar antara belas kasihan manusia dan belas kasihan Allah.  Keduanya saling berjauhan dari satu sama lainnya sebagaimana jauhnya kebaikan dari kejahatan.
Reaksi normal dari seorang manusia ketika seseorang menyebabkan dia salah ialah untuk membalas dendam.  Inilah keadilan manusia: mata ganti mata, gigi ganti gigi.  Pengampunan manusia dapat menyeberangi halangan ini namun dapat menimbulkan keadilan yang palsu: Aku bisa mengampuni atas dasar rasa keunggulanku. Aku membuktikan diri sebagai pemenang dan orang lain harus merasa sangat berterima kasih kepadaku.  Sesungguhnya kita harus sampai pada bentuk pengampunan yang sama sekali altruistik (melulu mementingkan kebutuhan sesama), yang menuntut si pengampun untuk berkorban.  Dia harus merasa malu, bahkan bersalah.  Maka keadilan yang sejati dapat terlaksana.  Masalah utama bila kita mengampuni ialah: bagaimana sikapku sendiri?   
Ketika wanita yang berzinah tidak dihukum oleh Yesus, Dia  menyimpulkannya sbb.: “Pergilah, dan janganlah berbuat dosa lagi.” Pengampunan mengandung suatu panggilan untuk bertobat.  Kita diundang untuk tumbuh dalam kemanusiaan sejati, dalam keserupaan dengan Allah dimana kita tercipta dan kearah nasib kita – yakni hidup dalam kasih Allah. 
Pengampunan selalu memiliki semacam sifat tidak rasional dan tidak masuk akal.  Ia turut campur dalam hukum dan peraturan manusia, dan ia bahkan mengacaukan hukum yang seimbang yang mengatur masyarakat manusia.  Menyelesaikan sesuatu secara bersahabat makin hari makin dipertanyakan  dewasa ini dan dipandang sebagai lawan dari keadilan!  Memang pengampunan tidak menghiraukan aturan-aturan dan dan kodrat kewajiban moral yang khas dari keadilan.  Hukum berbicara tentang perilaku yang tak dapat diampuni seperti kekejaman kaum Nazi sebagaimana dijabarkan oleh Wiesel dan Wiesenthal, atau kejahatan-kejahatan Dutroux.  Dalam hal ini kita memandang pengampunan, seperti halnya kasih, melampaui nalar.  Maka pengampunan tak dapat dijadikan aturan umum, ia harus tetap menjadi pengecualian.  Ia tak boleh menjadi suatu alasan yang mudah dalam arti “kerjakanlah semaumu, semuanya toh akan diampuni juga.”  Pertanyaan utamanya tetaplah apakah Allah memiliki hak untuk mengampuni suatu kelakuan buruk yang secara manusiawi tak dapat diampuni?  Apakah kuasaNya sedemikian luas sehingga dia menutup sisi kelakuan buruk yang “tak mungkin didamaikan” (misalnya kejahatan Hitler, Dutroux, Saddam).  Satu-satunya jawaban terhadap persoalan ini ialah dari Allah sendiri: “Aku ini Allah, bukan manusia!”  Allah selalu lebih agung daripada manusia, juga dalam pengampunanNya sebagai ungkapan dari kasihNya yang tak terukur – ya, selalu lebih agung. 
Syarat untuk memperoleh pengampunan ialah mengakui dosa kita, dan tidak meremehkannya.  Dosa yang terbesar ialah kecongkakan, karena kecongkakan membuat kita menyangkal dan meremehkan dosa kita sehingga pengampunan ditiadakan.  Kerahiman tak dapat memasuki hati kita jika kita meringkuk dalam kepuasan diri dan dengan sombong menyatakan diri tidak berdosa sama sekali.  Tatapan Yesus terhadap wanita yang berzinah itu sudahlah cukup; kita tahu tanggapanNya:  Dia tidak mencercainya, tidak menghukum namun sekedar menyuruh dia untuk tidak berbuat dosa lagi.  Inilah benar-benar suatu kerahiman yang memerdekakan wanita itu sehingga dia dapat pergi dalam damai.  Kedamaian total yang akan kita terima di surga kelak. 
Doa “Bapa kami” mengandung suatu permohonan pengampunan yang mendesak:  “Seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.”  Kita harus menanamkan suatu sikap sejati, sikap dasar pengampunan terhadap sesama kita, namun juga terhadap diri kita sendiri dan terhadap Allah.  Yesus mengajak kita untuk mengasihi semua orang, bahkan musuh-musuh kita, dan untuk berbelas kasih terhadap mereka yang menganiaya kita.  Dalam hal ini, seperti halnya dengan kasih, kita menghadapi rintangan-rintangan;  kita hanya dapat mengampuni jika Allah memberi kita kekuatan, rahmat dan kerahimanNya untuknya.  Kita harus berbelas kasih terhadap diri kita sendiri.  Jika kita menerima pengampunan, kita harus memadukanNya dengan keadaan kita.  Pengampunan itu jauh melebihi sekedar kejadian rohani murni; keseluruhan hidup kita juga terresapi olehnya.
Akhirnya, ada Allah. Kita cenderung menyalahkan Allah atas bencana-bencana dan penderitaan yang menimpa kita: “Mengapa Allah melakukannya terhadap kita?”  Bagaimanapun juga ini suatu hojatan, karena Allah tidak bertanggung jawab atas penderitaan kita; mengampuni Allah sama saja dengan mengumumkan bahwa Allah sama sekali tidak bersalah atas keburukan yang menimpa kita.   
4.3.    Sedikit renungan
Injil St. Yohanes menyajikan beberapa teks yang tajam tentang kasih pengampunan Yesus ketika Yesus menyebut diriNya sumber air hidup (Yoh. 7:37-38) dan ketika seorang serdadu menikam lambungNya (Yoh. 19:34).  Baik kasih yang naik maupun turun bertemu di sini:  “Barang siapa haus, hendaklah dia datang kepadaKu!” merupakan kasih yang naik dengan permohonan pengampunan.  “Seorang serdadu menikam lambungnya dengan tombak; dan segera mengalirlah keluar darah dan air” adalah kasih yang turun, anugerah pengampunan.  Ini merupakan teks-teks renungan yang indah yang melukiskan kasih Tuhan dan mengajak kita untuk saling mengasihi.  Ini melibatkan perjumpaan akrab antara manusia dengan Allah yang memberikan diriNya sendiri dalam kasih, tanpa kehilangan diri sendiri sementara manusia bersedia menjawab kasih itu.  Kasih ini sepenuhnya merupakan anugerah cuma-cuma, dan secara paling kuat terungkap sebagai pengampunan.  Kasih Allah ini mencegah kita jatuh ke dalam dua lubang perangkap:  Dia memberi kita seluruh hidupNya dan membasuh kaki para muridNya.  Layanan konkrit dan kasih konkrit saling berkaitan satu sama lainnya.
Kita tertantang untuk mengendalikan pengampunan kita secara keterlaluan.  Para rahib Trapis dari Tibhirine di Aljazair menunjukkan kasih agung mereka: ambilah surat warisan yang ditinggalkan oleh Br. Christian yang ditemukan setelah dia menjadi korban pembunuhan pada th. 1996:  “Seandainya – ini mungkin telah terjadi sekarang ini – saya menjadi korban terorisme yang jelas-jelas mengancam semua orang asing di Aljazair, saya ingin mengingatkan komunitas saya, Gereja saya, keluarga saya, bahwa saya menyerahkan nyawa saya kepada Tuhan dan kepada negeri ini.  Saya ingin agar mereka menerima bahwa satu-satunya Guru dari segala kehidupan tidaklah merasa asing terhadap akhir yang brutal ini. Semoga mereka mendoakan saya: bagaimana saya menjadi pantas bagi kurban semacam ini?  Semoga mereka mengkaitkan kematian ini dengan semua kematian lainnya yang sama-sama kejam namun terlewatkan begitu saja karena para korbannya tidak bernama.  Nyawa saya tidaklah lebih berharga daripada orang lain; pun tidak kurang berharga.  Bagaimanapun ia tidaklah lagi memiliki kesucian masa kanak-kanak.  Saya telah hidup cukup lama untuk menyadari bahwa saya bersalah atas kejahatan yang sayangnya tampak berjaya di dunia ini, bahkan atas kejahatan yang akan menimpa saya secara buta.  Seandainya ini pun terjadi demikian, saya ingin melihat sekilas kesempatan untuk memohon pengampunan kepada Tuhan dan kepada para konfrater saya, juga untuk mengampuni dengan sepenuh hati dia yang membunuh saya.”
PERTANYAAN-PERTANYAAN – BAB EMPAT
1.         Apakah kita masih berani menyebut dosa sebagai dosa, atau apakah kita lebih suka menyebutnya sebagai suatu kelemahan, kelalaian, atau kebiasaan... ?  
2.         Apakah kita cukup memperhatikan sakramen pengakuan: baik secara perorangan, maupun di dalam komunitas?
3.         Apakah ada tempat bagi pengampunan di komunitas kita?  
4.         Apakah kita tahu kisah-kisah agung lainnya dimana pengampunan menjadi titik pusatnya?


BAB V

                                          Kasih dalam Perjanjian Baru
Istilah “agape” atau kasih dapat dijumpai sebanyak 116 kali dalam Perjanjian Baru, “mengasihi” 143 kali dan “terkasih” 61 kali.  Jumlah keseluruhannya 320 kali, hal mana membuktikan bahwa kasih bukanlah pemikiran sekunder, namun menempati kedudukan sentral dalam pesan injili.  Kasih yang dilukiskan dalam Perjanjian Baru berakar pada Perjanjian Lama, yakni Ul. 6:4-5 dimana kasih Tuhan dijabarkan, dan Im. 19:18 yang menguraikan tentang kasih sesama.  Hal yang baru dalam Perjanjian Baru ada pada Yesus sendiri, dimana kasih menjadi titik pusat keseluruhan pesanNya.  Menurut Aristoteles, yang mengembangkan etika kebajikan, kebahagiaan manusia merupakan kebaikan yang tertinggi, dan oleh karenanya orang harus menjalani hidup saleh dan terutama melaksanakan kebajikan keberanian, keadilan dan kesahajaan.  Di sisi lain, Yesus mengembangkan etika kasih, yang boleh kita sebut “transetika,”  karena ini menjangkau lebih jauh lagi daripada prinsip-prinsip umum kesahajaan, keadilan, dan rasa kewajiban, serta mentargetkan sasaran tertinggi kesempurnaan.  Etika ini menonjol karena sifatnya sederhana dan radikal.  Kita ingin meninjau Perjanjian Baru untuk menemukan apa yang dikatakannya tentang kasih.

5.1. Injil Matius
Ketika Yesus dibaptis, terdengarlah suara dari Allah Bapa yang bersabda: “Inilah PutraKu yang Kukasihi, Dialah orang pilihanKu” (Mat. 3:17).  Perkataan ilahi ini, yang terulang kembali saat peristiwa pemuliaan Yesus di gunung Tabor (Mat. 17:5), menandai penampilan Yesus di hadapan umum:  Dia berjalan dalam kasih Allah.  Segala yang Dia perbuat ditandai oleh kasih ini. 
Khotbah di bukit, dengan tugas khusus untuk mengasihi musuh (Mat. 5: 43-48), dapat dipahami dari kasih Allah.  Allah mencurahkan hujan baik atas mereka yang berbudi maupun yang tidak: Dia tidak membiarkan kasihNya tergantung pada prinsip manusiawi “kasih dibalas kasih.”  Inilah sifat kasih Allah yang sangat penting.  Kita juga terpanggil untuk berbuat baik sepenuhnya, seperti Bapa Surgawi yang baik sepenuhnya pula (Mat. 5:48).  Kasih akan mengungkapkan dirinya dalam kebaikan sepenuhnya.  Hal ini hanya dapat dipahami dari kasih Allah sendiri.  Sedikit lebih jauh lagi dalam Injil Matius, kita melihat bahwa perintah kasih (Mat. 22:37-40) menjadi hakikat dan sintesis dari keadilan injili.  Hukum Taurat dan Para Nabi dalam Perjanjian Lama mendapatkan pemenuhannya dalam perintah kasih yang dwi-rangkap itu.  Untuk menyatakan kasih, Matius memberikan kalimat Yesus yang terpenting: “Lakukanlah terhadap orang lain apa yang kamu sendiri ingin supaya dilakukan terhadap kamu” (Mat. 7:12).  Kasih sesama haruslah setaraf dengan kasih Allah, dan ini dapat diuji dengan sejauh mana orang itu ingin diperlakukan dan dikasihi. 
Perintah kasih mendapatkan tafsiran pokoknya dalam kriteria penghakiman saat Yesus menyamakan diriNya dengan sesama, orang miskin, sebagaimana dilukiskan dalam Mat. 24 dan 25.  Yesus juga meramalkan bahwa kasih akan memberikan kesejukan (Mat. 24:12), hal mana kita jumpai pula dalam kitab Kidung Agung, dan secara lebih khusus lagi dalam kitab Wahyu (Why. 3:15), dimana manusia dihimbau untuk menjadi panas atau dingin, tetapi tidak suam-suam kuku.  Matius acap kali menggunakan kata “melayani” dalam arti “mengasihi”.  Bagi Matius melayani ialah mengasihi. “Putra Manusia datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani dan memberikan kehidupanNya untuk menebus banyak orang” (Mat. 20:28).  Segala tindakan Yesus (al.menyembuhkan orang sakit, mengampuni pendosa, menghibur orang yang berduka, dll.) dikuasai oleh kasih.  Akhirnya, kita dapat melihat hal terpenting yang diajarkan oleh Yesus dalam memenuhi kehendak Bapa yakni: menjadikan kasih Bapa yang luar biasa itu nyata dan tampak. 
5.2.  Injil Markus
Injil Markus yang singkat ini memiliki banyak kemiripan dengan Injil Matius.  Ia juga memusatkan perhatiannya pada kasih Allah dan sesama dalam pesannya.  Yang paling menonjol ialah penggunaan kata “kasih” secara khusus dalam kisah tentang Orang Kaya (Mrk. 10:19-20):  “Yesus memandang dia dengan kasih sayang.” Ajakan untuk mengikuti Yesus selalu merupakan ajakan untuk mengasihi.  Sumber setiap panggilan ialah kasih, yakni Yesus sendiri yang ingin memberi kita kasih Bapa. 

5.3.  Injil Lukas
Dalam injil Lukas ada perhatian yang jelas terhadap kasih dalam Khotbah di Bukit (Luk. 6:17-49), dimana kasih ditampilkan sebagai kebaikan penuh belas kasihan secara aktif terhadap sesama, khususnya terhadap musuh.  Titik pusatnya ialah juga: “Buatlah kepada orang lain sebagaimana kamu kehendaki supaya orang lain berbuat kepadamu” (Luk. 6:31).  Dalam Lukas 7:36-50, kita jumpai peristiwa pengurapan kaki oleh seorang pendosa.  Kita mendapatkan suatu gambaran yang kuat dari kasih yang bergelora setaraf dengan Kidung Agung.  Tanggapan Yesus sangatlah menonjol: “Aku berkata kepadamu: dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih”(Luk. 7:47).  Pengampunan disejajarkan dengan kasih: inilah unkapan kasih Allah terhadap manusia. 
Dalam injil Lukas, pencarian perintah yang terbesar dilukiskan dengan perumpamaan orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:25-37).  Dalam perumpamaan ini, kasih ditampilkan sebagai bentuk belas kasihan yang aktif, cerdas dan penuh pengabdian terhadap orang yang menderita.  Kesimpulannya ialah bahwa setiap orang menjadi sesama kita, karena kasih menciptakan persahabatan dengan setiap orang, tanpa syarat, tanpa pandang bulu, dan tanpa timbal balik.  Akhirnya kita boleh mengutip Luk. 12:49 sbb.: “Aku datang untuk membawa api ke atas bumi dan betapa Aku harapkan bahwa api itu telah menyala.”  Memang sudah seharusnyalah api kasih itu bernyala!

5.4.  Kisah Para Rasul menurut Lukas.
Dalam Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Lukas, ditonjolkanlah kasih sebagai ciri resmi umat kristiani pertama.  Namun Lukas juga menjabarkan dampak dari kasih ini: komunitas milik bersama yang berkumpul untuk berdoa dan merayakan ekaristi bersama-sama.  Model umat kristiani pertama ini menjadi: “Lihatlah bagaimana mereka saling mengasihi,” yang kemudian menjadi basis dari hidup komunitas religius.  Kasih menjadi kunci, sendi hidup kristiani yang sejati. 
5.5.  Injil Yohanes
Yohanes adalah murid yang dikasihi Yesus (Yoh. 21:20), dan juga seorang pengarang injil serta rasul kasih.  Dia menguraikan kedatangan Yesus di dunia sebagai ungkapan kasih Allah.  “Allah demikian mengasihi dunia, sehingga Ia rela memberikan PutraNya yang tunggal,” (Yoh. 3:16).  Maka orang-orang akan menemukan kebahagiaan sejati, keselamatan sejati.  Keselamatan yang terkandung dalam pemberian diri sepenuhnya demi kasih.  Kasih menjadi kunci keselamatan yang sejati.  Khususnya Bab 13 s/d 21 dengan sangat kuat ditandai oleh kasih.  Sengsara Yesus adalah karya kasih:  Yesus demikian mengasihi umatNya sehingga ia ingin menyerahkan nyawanya bagi mereka, atas dasar kasih, kasih yang murni. “Dia akan mengasihi mereka dengan kasih yang sempurna” (Yoh. 13:1), karena segala sesuatunya haruslah “digenapi.”

Ajaran-ajaran inti dari Yesus secara tepat terfokus pada pemberian diri secara total demi kasih ini.  “Aku memberi kepadamu suatu perintah yang baru: kasihilah satu sama lain.  Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh. 13:34).  Kelanjutan dari pernyataan ini sangatlah penting:  “Semua orang akan tahu bahwa kamu murid-muridKu, apabila kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:35).  Boleh dikatakan demikian: sama seperti kaum Parisi yang dikenal dari perhatian mereka terhadap peraturan ritual dan tafsiran hukum mereka yang keras, serta kaum Saduki yang menolak kebangkitan, begitupun kaum kristiani akan dikenal dari kasih mereka terhadap satu sama lainnya.  Menyerahkan nyawa demi sesama (Yoh. 10:17) akan menjadi titik puncak yang tertinggi dan mutlak.  

5.6.    Surat-surat Yohanes
Secara khusus surat Yohanes merupakan contoh renungan tentang kasih yang sangat indah.  “Lihatlah betapa besar kasih Allah kepada kita, sehingga kita dinamakan anak-anak Allah dan kita memang sesungguhnya anak-anak Allah” (I Yoh 3:1).  “Sebab inilah warta yang telah disampaikan kepadamu sejak permulaan: yaitu kita harus saling mengasihi” (I Yoh. 3:11).  Yohanes mengembangkan suatu ikatan yang harus ada di antara kasih dari dan untuk Allah serta kasih sesama.  Kasih sesama bahkan menjadi suatu pengganti dari kasih Allah (bdk. I Yoh 3:11-13).  Kasih Allah itulah yang pertama dan membuat kita mampu untuk mengasihi.  “Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi bahwa Dialah yang pertama-tama mengasihi kita dan mengutus PuteraNya...” (I Yoh. 4:10-19).  Kita harus mengasihi dengan tindakan-tindakan nyata; kata-kata saja tidaklah cukup (I Yoh. 3:18) dan mewujudkan kasih ini dengan memelihara perintah-perintahNya (I Yoh. 3:24).  St. Agustinus dan St. Bernardus terutama menggunakan surat Yohanes ini untuk menulis tentang kasih.  Ini suatu ajakan bagi kita semua untuk membacanya kembali dengan tenang.  

5.7.    Kesaksian Paulus
Bagi Paulus, kasih merupakan suatu tema penting juga.  “Injil” Paulus seringkali dinamakan “Injil Kasih.”  Paulus telah memberikan kita sumbangannya yang besar guna memahami kasih sebagaimana telah diwartakan dan dihayati oleh Yesus.  Visi sentral Paulus ialah bahwa Allah yang mengasihi manusia memberinya  kemampuan untuk menanggapi kasih ini melalui Roh Kudus.  Paulus memandang kasih Yesus bagi manusia sebagai sesuatu yang sangat pribadi: “Aku sudah disalibkan bersama Kristus.  Maka bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.  Hidupku yang fana sekarang ini adalah hidup dalam kepercayaan kepada Putra Allah yang mengasihi aku dan yang telah menhyerahkan diriNya untuk aku” (Gal. 2:19).
Kita mendengar kalimat yang penting sbb.: hidup, wafat dan kebangkitan Yesus adalah demi aku secara pribadi.  Apakah kita sudah cukup memikirkan hal ini?  Inilah korban Kristus, atas dasar kasih bagiku yang memanggilku: kita secara pribadi harus merasa prihatin akan hal ini.  Korban Kristus di salib, sebagai suatu tindakan kasih, merupakan panggilan untuk bersatu denganNya.  Oleh karena itu umat kristiani terpanggil untuk mengulangi korban ini sebagai suatu tindakan kasih dalam hidup mereka sendiri: dengan begitulah kita meneladan Kristus.  Sebagai orang kristiani, kita juga memasuki dinamika kasih Tritunggal.  Roh Kuduslah yang menghidupkan kembali kasih dalam hati kita dan membuat kita berseru: “Abba, Bapa” (bdk. Rom. 8:15; Gal. 4:6). 
Lebih jauh lagi Paulus berkata: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? ... Dalam semuanya ini kita akan menang jaya, oleh kuasa Dia yang mengasihi kita” (Rom. 8:35-39).  Ini kedengarannya seperti Kidung Agung yang berkata bahwa kasih itu lebih kuat daripada maut.  Mereka yang telah memasuki dinamika kasih Allah dalam Kristus tak dapat berbuat lain kecuali menjadikan kasih sebagai kunci utama dari keberadaan mereka.  Itulah bagaimana Paulus mempersiapkan bagi kita Madah Kasihnya, yang dapat kita baca dalam I Kor. 13.  Tak ada sesuatupun yang melebihi kasih.  Jika aku tidak memiliki kasih, aku tak berharga sama sekali.  Kasih inilah yang mendorong Paulus untuk menjadi lebih aktif dalam bidang pastoral “Caritas Christi urget nos” (: Kasih Kristus menguasai kami) (II Kor 5:14).  Kasih ini pulalah yang menggerakkan kita untuk memulai cara hidup baru. Surat Rom. 12:9-21 mengatakan bahwa kita tak boleh dikuasai oleh kejahatan, namun mengalahkan kejahatan dengan kebaikan, yakni kasih.  Ya, kasihlah yang menguatkan kita, “karena kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus” (Rom. 5:5), dan Roh inilah yang menyingkirkan segala kecemasan dan menjadikan kita berseru “Abba, Bapa” (Rom. 8:15).

5.8.    Surat Yakobus
Yakobus menyebut kasih sesama sebagai Hukum Kerajaan (Yak. 2:8), dan selanjutnya dia berkata bahwa tanpa perbuatan (jadi tanpa kasih sesama), iman itu mati (Yak. 17:26).  Panggilan untuk melaksanakan kasih secara konkrit terdengar begitu kuatnya dalam surat ini (Yak. 2:1-9), karena iman harus mengungkapkan dirinya melalui kasih.  

5.9.    Kitab Wahyu
Isi surat-surat kepada tujuh jemaat di Asia sangatlah tegas dalam kitab Wahyu (Why. 2-3), dan diselang-selingi dengan visi utama, yakni kasih harus tetap menjadi panggilan para pengikut Kristus.  “Namun Aku mempunyai satu keluhan terhadap engkau: engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula” (Why. 2:4), dan ini kemudian diikuti dengan panggilan untuk bertobat:  “lakukanlah apa yang biasa engkau lakukan dahulu kala.”  “Aku tahu pekerjaan-pekerjaanmu; engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya kalau engkau dingin atau panas!  Jadi, karena engkau suam-suam kuku, tidak panas dan tidak dingin, maka Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu” (Why. 3:15-16).  Jelaslah ini mengacu pada kualitas kasih: kasih harus seperti api yang bernyala.  Tidakkah di sini kita teringat akan kata-kata Rama Lievens: “Api haruslah bernyala”?  Memang kehidupan Gereja tergantung pada semangat umatnya. Untuk itulah ketujuh jemaat tsb. diundang oleh Putra Manusia yang telah bangkit, dan pesan ini ditujukan pula kepada kita semua. 


Kesimpulan
Dalam seluruh isi Perjanjian Baru, ada ajakan yang sangat selaras untuk menanamkan kasih, yakni:
  • Kasih Tuhan merupakan sumber segala kasih;
  • Kasih terhadap satu sama lain terungkap dalam kesediaan untuk menyerahkan nyawa kepada sesama, sesuai dengan teladan Kristus sendiri bagi kita semua.
  • Kasih terhadap kaum miskin, kaum sakit, sebagaimana Kristus telah melakukannya dahulu kala dan terus menerus mendorong kita. 


BAB VI

 Sikap dasar dari kasih dan karitas
H
ingga kini sudah ada banyak penulis yang menjabarkan tentang kasih.  Di sini saya merujuk pada kasih yang berakar dalam kasih Tuhan sendiri dan yang terungkap dalam pelbagai bentuk.  Bentuk-bentuk tradisionalnya ialah karitas atau kasih sesama, philia atau kasih antar sahabat, dan amor atau eros atau kasih penuh gairah.  Namun semua pernyataan kasih ini muncul dari agape atau kasih ilahi.  Semuanya ini tentang kasih yang menurut St. Paulus dikatakan sbb.: “Sekalipun aku dapat berbicara dalam bahasa manusia dan malaikat, tetapi tidak mempunyai kasih, maka akan samalah aku dengan gong yang bergaung dan canang yang gemerincing” (I Kor 13:1), atau menurut St. Agustinus: “Kasihilah, dan lakukanlah semaumu,” atau kata St. Bernardus: “Ukuran kasih ialah ialah kasih tanpa ukuran.”  Apa yang paling menonjol tentang ketiga kutipan di atas sebagaimana kita bahas hingga kini ialah bahwa kasih itu melampaui batas, kasih itu memeluk semuanya.  Kasih itu sungguh-sungguh segalanya.  Tentu saja, kutipan yang melampaui semuanya berasal dari St. Yohanes yang berkata bahwa “Allah adalah kasih” (I Yoh 4:16). 
6.1.    Hakikat kasih
Untuk merenungkan lebih mendalam tentang kasih, kita harus menuju sumbernya dan bertanya diri apa yang Yesus katakan tentang kasih.  Yesus mengkaitkan kasih dengan pemenuhan hukum Taurat, dan menguraikannya sebagai suatu jalan yang unik untuk menghayati hidup yang lebih manusiawi sebagai manusia.  Yesus memberikan kasih sebagai suatu pedoman dalam menjawab pertanyaan kaum Farisi tentang perintah hukum Taurat yang terbesar: “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap budimu.  Inilah perintah yang pertama dan yang paling utama.  Tetapi selain itu ada lagi sebuah perintah yang sama dengan yang pertama itu: Engkau harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri.  Seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi didasarkan pada kedua perintah ini” (Mat. 22:37-40).  Lakukanlah itu, maka engkau akan hidup... menghayati hidup sepenuhnya!  Dalam teks ini, ada suatu rujukan kepada hukum Taurat dan kitab para nabi.  Boleh dikatakan bahwa perintah kasih berakar dalam hukum Taurat dan kitab para nabi.  Dalam Taurat, kita membaca bahwa kita tidak boleh mengabaikan kaum miskin, karena Allah berpihak pada diri mereka (Ul. 15:1-11). 
Rujukan-rujukan juga dilakukan terhadap kategori-kategori khusus dari orang-orang yang patut mendapatkan perhatian kita, yaitu: anak-anak yatim piatu, para janda, orang-orang asing, para imam, dll.  Para nabi memberikan suara mereka tentang hukum Taurat.  Dalam kitab Yesaya 58:6-7 kita membaca sbb.:  “Berpuasa yang berkenan kepadaku ialah mematahkan belenggu-belenggu ketidakadilan dan melepaskan tali-tali kuk, membebaskan orang-orang yang tertindas, dan mematahkan setiap kuk.  Berpuasa dengan berbagi makananmu dengan orang yang lapar, membawa ke rumahmu mereka yang tidak punya rumah, memberikan pakaian kepada mereka yang kaulihat telanjang, dan jangan berbalik meninggalkan saudaramu sendiri.” 
Dalam kita Yehezkiel 18:5-9, kita temukan dorongan semangat yang serupa: “Bayangkan seorang benar, yang melakukan keadilan dan kebenaran.  Ia tidak makan di tempat-tempat suci di atas bukit-bukit, atau memandangi kepada berhala-berhala Israel yang keji, tidak mencemarkan istri tetangganya, atau bersetubuh dengan perempuan yang sedang haid; ia tidak menyengsarakan orang, membayar utangnya, tidak mencuri, memberi makan kepada orang yang lapar dan pakaian kepada yang yang telanjang, tidak menuntut bunga dari uang yang dipinjamkannya dan tidak meminjamkan untuk mendapat bunga, menahan diri dari ketidakadilan serta melakukan keadilan yang benar di antara sesama manusia, mengikuti ketetapan-ketetapanKu dan mematuhi hukum-hukumKu dengan setia.  Orang yang demikian sungguh-sungguh orang benar dan ia akan hidup, sabda Yahweh.”
Dalam kitab Tobit, kitab utama yang penuh dengan karya baik, kita membaca: “Berikanlah rezekimu kepada yang lapar dan pakaianmu kepada mereka yang telanjang; berikanlah derma dari setiap barang yang kaumiliki secara berlebih.  Taburkanlah rezekimu di atas makam orang jujur dan janganlah kauberikan itu kepada kaum pendosa” (Tob. 4:16-17). 
Yesus menggunakan teks-teks kenabian ini, ketika murid-murid Yohanes bertanya kepadanya apakah Dia Mesias yang telah lama ditunggu-tunggu:  “Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta ditahirkan, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan kembali dan kepada orang miskin diwartakan kabar gembira” (Mat. 11:5).  Keseluruhan hal tentang karitas atau kasih sesama dapat diringkas dan dipandang dalam terang perintah kasih.  Jadi, segala yang dikatakan oleh Yesus dan dilakukanNya tentang karitas haruslah dibaca dalam konteks Mat. 22:37-40 dan ini segaris dengan hukum Taurat dan kitab para nabi.  Perintah kasih ini, dan khususnya karitas, dikonkritkan oleh Yesus sendiri dalam karya-karya belas kasih.  Kita dapat menjumpainya sebagaimana terungkap dalam sejumlah teks. 
Saat para rasul menerima tugas misi mereka, Yesus berkata:  “Sembuhkanlah orang yang sakit, hidupkanlah kembali orang yang sudah mati, tahirkanlah orang yang berkusta, dan usirlah setan-setan.  Kamu telah menerima ini dengan cuma-cuma, maka berikanlah juga dengan cuma-cuma” (Mat. 10:8).  “Orang banyak berduyun-duyun datang kepadaNya, sambil membawa orang yang bisu, lumpuh, timpang, dan banyak orang sakit yang lain lagi.  Mereka semua dibawa sampai ke kaki Yesus, dan Ia menyembuhkan mereka semua” (Mat. 15:30-31). 
Daftar kriteria yang diringkas dalam Mat. 25 membentuk basis aktual dari karya-karya belas kasih.  Yesus menyimpulkannya dengan suatu kalimat yang sangat ganjil:  “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, setiap kali kamu melakukan ini kepada salah seorang yang paling kecil dari saudara-saudaraKu, kamu melakukannya kepadaKu.”  Kalimat ini hanya dapat dipahami dalam terang perintah kasih, dimana kasih Allah, kasih sesama, dan kasih diri sendiri dinilai setara.  Marilah kita menganalisir perintah kasih yang rangkap tiga ini. 
6.2.    Apa yang istimewa dalam perintah kasih ini?
Bahwa kita harus mengasihi Allah lebih dari segala sesuatunya, namun bahwa kasih Allah setara dengan kasih sesama dan kasih diri sendiri.  Bukanlah cara kita mengasihi yang berbeda, namun obyek dari kasih kita.  Kasih untuk dan dari Tuhan  berlaku pada kasih sesama, dan kasih diri sendiri, karena kasih Allah terhadap umat manusia muncul terlebih dahulu.  “Hendaklah kita saling mengasihi, sebab Dia lebih dahulu mengasihi kita” (I Yoh. 4:19). 
Kasih Allah, kasih sesama dan kasih diri sendiri segaris dengan satu sama lainnya, dengan menciptakan semacam kesetaraan.  Inilah yang dikemukakan oleh para penulis seperti St. Agustinus dan St. Bernardus.  Agustinus mengembangkan pandangan-pandangannya berdasarkan surat Yohanes tsb. di atas:  “Jikalau seorang berkata, ‘Aku mengasihi Allah’ sementara ia membenci saudara-saudarinya, ia seorang pendusta. Bagaimana mungkin ia dapat mengasihi Allah yang tidak dilihatnya, sementara tidak mengasihi saudara-saudarinya yang dilihatnya?  Dari Dia kita telah menerima perintah ini: hendaklah mereka yang mengasihi Allah, mengasihi juga saudara-saudarinya”  (I Yoh. 4:20-21). 
Agustinus semula memandang kasih sesama pada umumnya merupakan tempat lahirnya kasih Allah.  Kasih manusia hanyalah suatu persiapan bagi kasih Allah.  Karitas harus membawa kita kepada kasih Allah: melaksanakan karya yang baik supaya berkenan kepada Allah dan mengambil manfaat dari kasihNya.  Jelaslah, ini merupakan pandangan karitas yang sangat berfaedah.  Secara bertahap, St. Agustinus menjadi yakin bahwa tak ada jurang antara karitas dan kasih Allah.  Mengasihi manusia sebenarnya sama dengan mengasihi Allah.  Semua kasih sejati pada hakikatnya ialah kasih Allah.  Inilah kasih manusia yang mempersatukan kita dengan Allah.  Begitu kita mulai mengasihi seseorang, Allah menjadi hidup di dalam dirinya dan kita mengasihi dia seperti kita mengasihi Allah.  St. Agustinus mendalami lagi ide ini dengan membalikkan perkataan Yohanes “Allah adalah kasih,”  sehingga membuatnya kedengaran seperti “Kasih ialah Allah.”
St. Agustinus berkata: “Nilai kasih tak dapat ditujunjukkan dengan lebih jelas daripada dengan menyatakan bahwa ia berasal dari Allah.  Begitu jelaslah bahwa kasih merupakan anugerah dari Allah sehingga ia dirujuk sebagai Allah.  Manusia tak perlu lagi membayangkan Allah itu seperti apa.  Setiap gambaran Allah berisiko untuk berubah menjadi suatu berhala, suatu gambaran Allah yang palsu yang mungkin mulai dihargai orang di dalam hatinya.  Hanya ada satu pendekatan yang benar terhadap Allah, yakni bahwa “Allah adalah kasih.”  Ungkapan yang paling ditinggikan yang pernah dipikirkan oelh manusia untuk merujuk kepada Allah ialah “Allah adalah kasih.”  Namun ungkapan ini juga dapat dibalik: kasih adalah Allah. 
Dengan mengatakan hal itu, St. Agustinus memahami tanggung jawab manusia.  Melalui kasih, manusia harus menghadirkan Allah di dunia ini.  “Kita juga dijadikan bertanggung jawab atas kasih Allah di dunia ini, karena kasih Allah diwujudkan dalam kasih sesama kita.  Akhirnya, kasih sesama kita merupakan kasih Allah sendiri terhadap manusia.  Kasih Allah harus diwujudkan dan harus ditunjukkan dalam kasih kita.”  Pengangkatan kasih manusia menjadi kasih ilahi mengandung risiko, sebab pengangkatan ini hanya riil bila kasih kita terangkat pada taraf yang sama dengan kasih ilahi.  Kita harus menyadari bahwa cara manusiawi kita dalam mengasihi ditandai oleh ketidakmurnian, yang disebabkan oleh kepentingan diri sendiri.  “Semua kasih yang salah dan tidak murni,” menurut St. Agustinus, “dapat disusutkan menjadi kepentingan diri sendiri atau kasih bergairah, yang terjerat dalam diri sendiri dan tak mampu mengangkat dirinya sendiri.” 
Kasih kita harus melalui suatu proses pemurnian.  Ketika Yesus berbicara tentang kasih.  Dia berbicara tentang sesuatu yang teramat agung.  Apakah cita-cita tsb. dapat dicapai oleh kita, manusia, atau apakah kita hanya bisa memimpikannya?  Pemikiran-pemikiran liberal kita tentang kasih mulai runtuh ketika Yesus menghimbau kita untuk mengasihi musuh-musuh pula.  “Jika kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah istimewanya?  Bukankah pemungut-pemungut pajak berbuat demikian juga?  Dan jika kamu berlaku ramah hanya kepada sahabat-sahabatmu, apakah istimewanya?  Bukankah juga orang-orang kafir berbuat demikian?  Oleh karena itu janganlah kamu membatasi kasihmu, sama seperti Bapamu di surga yang tidak membatasi kasihNya pula” (Mat. 5, 43-47).  Tugas ini bertentangan dengan emosi-emosi kita, karena reaksi spontan kita ialah membenci musuh-musuh kita. 
Kasih yang dibicarakan oleh Yesus adalah kasih yang lain, semacam kasih yang berbeda dari emosi-emosi yang terlibat saat kita (sangat) menyukai seseorang, menyukai orang-orang yang kita alami di hadapan sahabat-sahabat kita.  Kasih itu merupakan suatu perasaan, suatu bagian dari kepekaan kita yang berkembang spontan dan cuma-cuma dan yang tak dapat dipaksakan kepada setiap orang.  Tidaklah perlu bagi kita untuk menyuruh sepasang kekasih untuk saling mengasihi satu sama lainnya, karena boleh dikatakan secara emosional mereka berdua sudah merasa saling tertarik atas satu sama lainnya.  Kasih yang disebutkan dalam perintah kasih terletak pada taraf lain.  Perintah kasih tidak membahas tentang philia, kasih antar sahabat, namun dengan karitas.
Pemikiran-pemikiran St. Agustinus itu mirip pula.  Bacalah saja pernyataannya yang tersohor sbb.:  “Kasihilah, dan kerjakanlah sesukamu.”  Jelaslah St. Agustinus tidak menggunakan kata “kasih” dalam arti yang sensitif emosional.  Dia merujuk kepada karitas yang otentik, tujuan utamanya ialah kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain.  Kasih sejenis ini mensyaratkan agar kita berhenti memusatkan perhatian kepada diri sendiri dan hanya kepada diri sendiri.  Perlulah kita berhenti bersikap egois dan terpikat oleh diri sendiri.  Hanya jika kita mengasihi tanpa prasangka kita dapat melakukan hal-hal yang harus kita lakukan tanpa prasangka pula, karena dalam hal itu, “menginginkan” dan “mengasihi” merupakan hal yang satu dan sama.  
Ungkapannya yang terkenal diikuti dengan pesan-pesan tertulis berikut ini: “Jika kamu diam, hendaklah diam dalam kasih.  Jika kamu berbicara, hendaklah berbicara demi kasih.  Jika kamu menunjukkan kesalahan, lakukanlah itu demi kasih.  Jika kamu menyelamatkan seseorang, lakukanlah itu demi kasih.  Bawalah kasih di hatimu, sebab hanya hal-hal yang berasal dari kasihlah yang baik adanya.  Kasihilah, maka kamu akan tetap terjamin.  Hanya mereka yang menjadi abdi kasihlah yang benar-benar merdeka.”  Memang kemerdekaan riil dilahirkan kapan saja kita bersedia mengorbankan segalanya demi kasih yang sejati, sehingga kita tidak egois, angkuh, tamak, plin-plan, ataupun tidak adil.  
Tentu saja kita memahami tanggapan para rasul terhadap pernyataan Yesus yang sangat tegas bahwa kita harus mengasihi musuh-musuh kita.   Tidak, itu menuntut terlalu banyak, itu suatu tantangan yang melampaui kapasitas manusiawi kita.  Dari sudut pandang manusia, ini merupakan tugas yang mustahil.  Apakah dengan demikian maka cita-cita kasih tak terjangkau oleh manusia? Apakah kita untuk seterusnya dalam hidup kita harus putus asa dikarenakan oleh perasaan bahwa perbuatan kita tidak mencukupi? 
Tidak, tuntutan St. Bernardus terus membayangi kita:  “Ukuran kasih ialah kasih yang tak terukur.”  Kita ditanyai tentang ukuran itu, yang dalam hal kasih, haruslah merupakan ketidak-terukuran.  Yesus juga memberi kita suatu jawaban ganda terhadap pertanyaan yang sama namun tepat itu: suatu jawaban teologis dan antropologis.  Untuk jawaban teologisnya, Dia mengandalkan perintah kasih itu sendiri.  Rumusannya cukup jelas.  Jika dan bila kita ingin mengasihi, kita harus selalu mulai dengan mengasihi Allah.  Kasih Allah mendahului karitas, namun sekaligus kita tahu bahwa  kedua hal itu berkaitan.  Yang satu mensyaratkan yang lain.  Kita harus membiarkan diri kita diterangi oleh kasih Allah, kita harus terbuka terhadapnya, dan berdoa untuknya sehingga kasih Allah dapat membuat kita mampu mengasihi.  Kasih Allah harus menguasai kasih kita, memurnikan kasih manusiawi kita dari kepentingan diri sehingga kita dapat memberikan kasih sebagaimana Allah sendiri mengasihi, yakni secara tanpa syarat.

Tanpa syarat ialah kata sifat yang paling sesuai untuk menggambarkan tentang kasih Allah.  Jadi termasuk juga terhadap para musuh kita, terhadap mereka yang tidak cocok dengan kita, atau terhadap mereka yang tidak kita senangi.  Tanpa syarat, laksana seorang ibu yang mengasihi bayinya yang baru lahir.  Sungguh tak terpikirkan dan mungkin tidak etis, jika seorang ibu harus mengasihi bayinya secara bersyarat.  Allah mengasihi setiap orang senantiasa dan dimana saja, tanpa syarat.  Melalui kasih tak bersyarat inilah kita menghadirkan Allah di dunia ini.  Allah membutuhkan kasih kita untuk memasuki dunia ini, karena kasih kita ialah Allah, begitu kutipan kata St. Agustinus sekali lagi.
Jawaban teologis dari Yesus didasarkan pada pemikiran bahwa kita harus berdoa dan bahwa kita harus menjadi rohaniwan-rohaniwati, jika kita ingin mampu mengasihi sesuai dengan caraNya sendiri.  St. Theresia dari Lisieux mengungkapkannya dengan sangat indah dalam doa sbb.: “KasihMu, Tuhanku, sudah ada sebelum aku ada.  Sedari masa mudaku, kasihMu berkembang bersamaku.  Kini ia laksana suatu jurang ngarai yang dalam sekali, lebih dalam dari yang dapat kuduga.  Jika aku ingin mengasihiMu seperti Engkau mengasihi aku, aku terpaksa meminjam kasihMu.  Hanya kemudianlah aku dapat memperoleh kedamaian.  Inilah doaku.  Aku meminta Yesus untuk menarikku dengan ikatan-ikatan kasihNya.  Untuk menyatukanku denganNya, sehingga Dia dapat hidup dan bertindak dalam diriku.” 
Terpisah dari jawaban teologis tsb., Yesus juga memberikan suatu jawaban antropologis.   Sungguh luar biasa bahwa Lukas menulis tentang ketiga jenis kasih, yakni agape, karitas dan philia dalam bab yang satu dan sama.  Seakan-akan dia ingin menekankan bahwa kita tak boleh memisah-misahkan ketiga jenis kasih ini, sepertinya memisahkan mereka akan menjadi hal yang dibuat-buat, karena orang tidak dapat memahami realitas yang sedemikian agung ini, yakni kasih.  Lukas menempatkan perumpamaan orang Samaria yang baik hati setelah ahli-ahli Taurat bertanya tentang perintah terbesar itu, dan akhirnya dia menceritakan kepada kita tentang kunjungan Yesus kepada Martha dan Maria, yang mengakhiri ajaran doa “Bapa Kami” (Luk. 10:25-11:4). 
Kasih selalu berakar pada kasih Allah yang harus kita mohon dalam doa, dan akan tampak melalui karitas yang harus kita laksanakan sesuai panggilan kita, serta kasih antar sahabat yang harus kita hayati, pupuk dan junjung tinggi sesuai dengan panggilan kita pula.  Kisah tentang kunjungan Yesus kepada Lazarus, Martha dan Maria sesungguhnya merupakan kisah tentang kasih antar sahabat, atau philia sebagaimana kita menamakannya.  Yesus memiliki sahabat-sahabat juga, sahabat-sahabat yang baik hati yang membuat Dia merasa kerasan. 
Kita tahu pula dalam injil Yohanes, ketika Yesus diberitahu bahwa Lazarus jatuh sakit: “Tuhan, orang yang kaukasihi itu sedang sakit” (Yoh. 11:3).  Dan ketika Yesus tiba di makamnya, Dia menangis:  “Dan Yesus pun menangis.  Berkatalah orang-orang Yahudi itu ‘Lihatlah betapa Ia mengasihinya!’” (Yoh. 11:35-36).  Suatu contoh philia atau kasih di antara sahabat-sahabat yang sangat bagus.    Teilhard de Chardin menerangkannya sbb.:”Kristus memiliki dua jenis sahabat.  Di salah satu pihak, Dia memiliki kaum miskin, sakit, papa, pendosa. Untuk merekalah Dia mengorbankan bagian terbaik dari masa hidupNya.  Di sisi lain, Dia memiliki sahabat-sahabatNya yang terbaik.  Dengan merekalah Ia menikmati kebersamaan dan mendapatkan dukungan.”  Inilah dimana kita menerobos peneguhan, kesaksian kasih timbal-balik, dan kasih yang tak memiliki tujuan lain kecuali demi kesejahteraan sesama. 
Kasih antar sahabat mengajar kita bagaimana menjadi sepenuhnya sepi ing pamrih (tidak egois) secara serta-merta dan bagaimana melakukan pendekatan kepada orang lain, sebab sahabat-sahabat sejati saling menerima satu sama lain sebagaimana adanya, saling menghargai dan meneguhkan satu sama lainnya.  Baik dia maupun aku adalah yang lebih baik, sebab kami belajar tentang apa itu kasih tanpa syarat.  Kasih antar sahabat adalah cerminan kasih Allah yang amat murni dan asli.  Jadi adalah wajar bahwa kasih di antara seorang pria dan seorang wanita diteguhkan dan ditinggikan melalui pernikahan kudus, suatu sakramen yang menghadirkan Allah sendiri.  Dalam hal ini, sakramen merupakan peneguhan kenyataan.  Hadirat Allah hanya diteguhkan melalui suatu tanda lahiriah. 
Lalu apa jawaban antropologis Yesus terhadap pertanyaan apakah kasih itu sama sekali mungkin?  Kasih antar sahabatlah yang mengajari kita, membuat kita mampu mengasihi orang-orang secara ilahi.  Anak-anak belajar mengasihi orang lain tanpa pamrih, jika mereka dikasihi secara tanpa pamrih pula oleh orang tua mereka.  Seluruh teori dari Dr. A. Terruwe didasarkan pada pemikiran tsb.  Kasih orang tualah yang membuat anak-anak mampu mengasihi orang lain pula.  Jika mereka tidak disemangati, dipuji dan dihargai dengan kasih (diteguhkan), mereka akan memasuki dunia tanpa peneguhan dan tanpa kasih serta tak mampu memberikan kasih kepada orang lain. 
Dalam wujud manusiawiNya, Yesus mampu menunjukkan kasih Allah, karena Dia sendiri telah dikaruniai kasih itu oleh Maria dan Yusuf.  Dia menanamkan kasih itu juga di antara sahabat-sahabatNya.  Philia mengantar kita kepada karitas, namun keduanya berakar dan berasal dari agape.  Kita hanya dapat menghayati karitas sepenuhnya, yakni dengan tanpa pamrih dan tanpa ukuran, jika kita mencari ilham dalam kasih ilahi dan mendapatkan dorongan semangat dalam kasih sahabat-sahabat kita.  Tanpa kekuatan persahabatan yang tidak melibatkan kewajiban riil apapun, dan rahmat kasih Allah yang tak bersyarat, kasih yang tak terukur takkan mungkin dicapai.  Jadi, kita terpanggil untuk menghayati hidup yang mengatasi segala ukuran, karena ukuran kasih ialah kasih tanpa ukuran. 
6.3.    Karitas sebagai terjemahan kasih
Kasih harus ditampakkan melalui tindakan nyata.  Tanpa tindakan apapun, matilah kasih itu.  Menarik juga jawaban Yesus terhadap pertanyaan tentang perintah yang terpenting dengan jalan merujuk kepada perintah kasih dan melukiskan jawabanNya dengan mengisahkan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati.  Karitas merupakan penjelmaan dari kasih, dan kasih itu mengunggulinya.  Namun kita hanya dapat menyatakan kerahiman atau misericordia yang secara harafiah artinya “mengasihi kaum malang, miskin dan yang membutuhkan pertolongan,” bila kita menghubungkannya dengan belas kasih atau compassio.  Kerahiman berkaitan dengan kasih melalui belas kasihan.  Karitas larut dalam misericordia (kerahiman) melalui compassio (belas kasih).  Dalam surat ensikliknya yang berjudul “Dives in misericordia” (1980) Paus Yohanes Paulus II berkata: “Kerahiman adalah dimensi kasih yang sangat diperlukan; seakan-akan ini merupakan nama kedua dari kasih, dan sekaligus cara khusus dimana kasih dinyatakan dan menjadi lawan dari realitas kejahatan di dunia.” 
Saya ingin pula menggambarkan belas kasih, yang merupakan cara perwujudan kasih, sebagai suatu hasrat terhadap penderitaan manusia.  Untuk berbelas kasih kita harus membiarkan diri kita sendiri tegerak dengan penuh hasrat terhadap sengsara, penderitaan sesama manusia.  Uniknya manusia mendapati dirinya sendiri berhadapan dengan dualitas sejenis itu dalam bidang ini.  Di satu pihak dia terdorong oleh dorongan pemeliharaan diri sendiri, oleh dorongan untuk mewujudkan diri sendiri, untuk bekerja keras guna memikirkan diri sendiri dengan penuh hasrat.  Namun di lain pihak dia dihadapkan pada desakan terus-menerus untuk berpaling kepada sesamanya, untuk membuka hatinya terhadap permohonan sesamanya yang butuh diperhatikan, dihormati, dan dikasihi.  Dorongan untuk perwujudan diri yang sangat kuat dan banyak dipromosikan pada jaman sekarang ini dibalas dengan kehadiran sesama manusia yang terus-menerus mengusiknya sementara ia berusaha memuaskan dorongan untuk mewujudkan diri sendiri yang terus semakin kuat itu. 

Usikan utuh inilah yang merupakan basis belas kasih seseorang.  Dari sinilah Levinas menyatakan bahwa wajah pribadi sesama menempatkan seseorang di bawah suatu perintah etika.  Kehadiran sesama membatasi kebebasan seseorang yang semula tak terbatas untuk menjadi asyik dengan diri sendiri. Hal ini mendesaknya untuk menjadi tanggap terhadap kehadiran sesama.  Ia melihat sesamanya dan menghadapi pilihan-pilihan sbb.: entah menutup mata dan melanjutkan hidupnya seperti biasa; atau ia terus memperhatikannya dan menawarkan kepadanya ruang hidup yang dia butuhkan sehingga ia dapat menghayati hidup semaunya; atau ia bertanya diri apa yang bisa ia lakukan baginya.  Belas kasih merupakan hasil dari pertanyaan terakhir itu.  Ketika seseorang mulai berpikir siapakah sesamanya itu, apakah yang dia butuhkan, apa yang menyebabkan kegembiraan atau kesusahan padanya, dan bagaimana dia dapat mendampinginya, itulah saatnya seseorang menjadi berbelas kasih kepada sesamanya. 
Itulah belas kasih yang kita jumpai dalam diri Allah sendiri, ketika Dia menunjukkan diriNya dalam Perjanjian Lama, sebagai Allah yang mendampingi kita dan peka terhadap derita kita.  Dalam kitab Keluaran, Dia bersabda: “Aku telah memperhatikan kehinaan bangsaKu di Mesir dan Aku telah mendengar seruan mereka, ketika mereka diperlakukan dengan kejam oleh orang-orang yang mengawasi mereka.  Aku mengetahui penderitaan mereka” (Kel. 3:7).  Yesaya menggambarkan Allah sbb.: “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayi yang menyusu di dadanya dan tidak menyayangi anak kandungnya?  Sekalipun dia melupakan, Aku tidak akan melupakan engkau.  Lihatlah, Aku telah menulis namamu pada tapak tanganKu; tembok-tembokmu tetap di depan mataKu” (Yes. 49:15-16).  Kedua teks di atas menggambarkan keterlibatan penuh hasrat dari Allah terhadap umat manusia. 

Para nabi memperkenalkan kepada kita Allah yang mengasihi Israel secara luar biasa, yang memilih kasih. Bagi setiap situasi tragis, kita dapat berseru mohon kerahiman Allah, dan jawaban terakhir atas belas kasih Allah menjadi Yesus sendiri, yang datang untuk membuktikan dan menghayati kerahiman Allah.  Yesus sendiri menjadi ungkapan kerahiman Allah, dan jawaban terhadap belas kasihNya.  Sabda Allah menjadi daging, penjelmaan manusiawi, penampilan Yesus yang penuh belas kasih.  Keseluruhan penebusan ditandai oleh kerahiman, dan seperti Yesus yang diutus oleh Bapa kepada kita untuk menunjukkan belas kasihNya melalui sikap penuh kasih, kitapun harus berbelas kasih.  “Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia, seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia” (Yoh. 17:18). 
Kerahiman dipandang dari segi kehidupan itu harus menjadi dasar semua tindakan kita.  Ini merupakan ungkapan dari perintah kasih yang kita wajib patuhi.  Kerahiman berkaitan dengan penghayatan hidup kita sepenuhnya dan berkaitan pula dengan kehidupan seutuhnya.  Kerahiman merupakan sikap mendasar yang harus menjadi basis dari segala tindakan kita.  Di jaman sekarang ini peristilahan seperti “belas kasih” dan “kerahiman” sering kali dianggap mencurigakan, karena orang mengiranya sebagai bukti dari semacam sikap paternalistik.  Jenis kritik ini bukanlah barang baru.  St. Agustinus pun sudah memperingatkan kita untuk tidak menyalahgunakan kerahiman hanya untuk menyenangkan diri kita sendiri karena kita telah menolong sesama.  Itulah sebabnya ia menasihati kita untuk menguji kasih kita yang sejati dalam relasi kita terhadap orang-orang yang sungguh membutuhkan bantuan kita.  Jika demikian adanya maka tidak ada risiko paternalisme. 
Lubang perangkap lainnya ialah kontradiksi antara karitas dan kompetensi.  Ada beberapa orang yang menyatakan dengan puas hati bahwa profesionalisme telah menggantikan karitas.  “Di masa lalu, kamu memiliki karitas, namun kini, puji Tuhan, telah ada perawatan profesional.”  Atau sebagaimana ahli etika Belanda, Govert den Hartogh, pernah mengusulkan dalam salah satu ceramahnya: “Saya bangga bisa membayar sumbangan bulanan untuk asuransi kesehatan saya, karena saya tahu bahwa, jika perlu, saya berhak mendapatkan perawatan yang sepantasnya.  Saya lebih suka ditangani oleh staf yang bersedia mogok kerja supaya mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik, daripada oleh mereka yang berkarya untuk suatu kongregasi amal kasih. 
Kasih, belas kasih dan kerahiman merupakan tanda-tanda sikap dasar.  Dengannyalah kita mengadakan pendekatan terhadap sesama.  Tidak ada alasan mengapa hal ini harus bertentangan dengan profesionalisme.  Sebaliknya, kompetensi dan profesionalisme harus dipandang sebagai hasil dari karitas.  Tak perlu ada persaingan antara keduanya, sebab kompetensi akan selalu menjadi terjemahan dari sikap amal kasih.  Jika kita merujuk karitas sebagai suatu perwujudan belas kasih kita, maka persaingan merupakan terjemahan konsisten dari kerahiman kita.  Bila saya menyukai seseorang dan tergerak oleh penderitaannya, maka saya berniat untuk menunjukkan kerahiman dan karitas kepadanya dengan memberikan bantuan secara kompeten. 
Oleh karena itu, kesimpulan saya dari renungan ini sangatlah sederhana dan logis, yaitu:  setiap tindakan kita terhadap sesama manusia haruslah mencerminkan kerahiman kita, dan sebagai konsekuensinya, semua perawatan dan bimbingan yang kita berikan haruslah bersifat sangat profesional.  Dengan kata lain, karitas tak ada kaitannya dengan kelemahan atau paternalisme, dan juga tidak bertentangan dengan kompetensi. 
PERTANYAAN-PERTANYAAN – BAB ENAM
  1. Dapatkah kita membentuk gambaran tentang kasih Allah yang tak terbatas dan tak bersyarat terhadap manusia?  Apakah kita mengalaminya sebagai suatu kenyataan dalam hidup kita?
  1. Apa makna perkataan St. Agustinus ini bagiku:  “Kita semua bertanggung jawab atas kasih Tuhan di dunia ini”?  Dimanakah kita merasakan adanya rintangan dalam hal ini?
  1. Adakah jawaban teologis dan antropologis dari Yesus mendapatkan tempatnya dalam hidup anda sendiri?
  1. Di jaman sekarang ini, belas kasih sering kali ditolak karena dianggap paternalistik, dan bertentangan dengan empati.  Apa tanggapan anda terhadap hal itu? 
  1. Apakah anda melihat kaitan antara karitas dan profesionalisme?  Bagaimana tentang pernyataan: “Dulu ada karitas, tapi sekarang ada profesionalisme”? 


BAB VII

                        Laksana Orang Samaria Yang Murah Hati
P
erintah kasih mengundang kita untuk mentafsirkan kasih Allah ke dalam kasih aktual terhadap sesama, yang dinamakan karitas.  Karitas adalah dinamika hasil dari sikap dasar mencintai yang kemudian menjadi belas kasih terhadap sesama dan dikonkritkan dalam karya-karya kerahiman.  Kerahiman dijabarkan dengan bagus sekali oleh Yesus dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati, sebagaimana disebutkan dalam renungan-renungan kita sebelumnya.  Apa yang dikatakan oleh perumpamaan orang Samaria yang murah hati ini, dan apa yang diajarkannya kepada kita?

Pertama-tama, kata pembukaannya sangatlah menyolok.  Yesus menolak untuk memberi suatu jawaban langsung terhadap pertanyaan: “Siapakah sesamaku?” (Luk. 10:29), dan Dia mengakhiri perumpamaan itu dengan balik bertanya: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, yang adalah sesama dari korban perampokan itu?”  Pertanyaan ahli Taurat yang ingin mendefinisikan digantikan oleh pertanyaan yang mengandaikan bahwa tak seorang pun ditiadakan dari kasih kita.  Setiap orang adalah sesamaku, dan tugasku ialah untuk menjadi sesama bagi setiap orang.  Inilah sikap mendasar yang ingin Yesus ajarkan kepada kita: bahwa setiap sesama merupakan suatu ajakan untuk menyingkirkan kepentingan diri kita dan mengabdikan diri kita dan membaktikan diri kita untuk kesejahteraan sesama dengan mengosongkan diri kita sendiri.  Bahwa kita harus berbelas kasih terhadap semua orang apapun kondisinya ditunjukkan secara jelas melalui kedua tokoh yang mendahului orang Samaria itu:  Mereka membuat kerahiman bergantung pada waktu, minat, serta penilaian mereka tentang sesama, pada ganti rugi yang mereka mungkin atau tak mungkin terima, pada pendidikan mereka, pada kehadiran atau ketiadaan badan-badan lain yang memberikan perawatan.  Lain kata, nalar mendahulu kasih mereka, dan oleh karenanya menghilangkan ketakterbatasan dan ketakterukuran dari mereka, yang mana keduanya adalah ciri kasih yang sangat khas, dan sebagai konsekuensinya, kerahiman yang ditimbulkannya juga sangatlah khas. 
Karena sikapnya, orang Samaria itu menolak pembatasan-pembatasan orang lain: dia membiarkan belas kasih dalam hidupnya, dia membiarkan dirinya tergugah.  Lalu keajaiban dari belas kasih menjadi terbuka dan berkembang menjadi kerahiman.  “Ia menghentikan perjalanannya”: orang yang konkrit yang menghalangi jalannya itu menjadi lebih penting dari jadwalnya.  Apakah orang sakit ini, orang malang yang menghalangi jalannya ini lebih penting daripada jadwalku, agendaku?  Dapatkah aku melepaskan diri dari agendaku dan memberikan prioritas terhadap orang ini? 
“Dia mendekatinya”: ia bergerak dan mencari sesama dalam kesukaran.  Dia tidak menunggu sesama itu untuk datang kepadanya.  Apakah aku melihat orang yang malang di dekatku dan apakah aku mendekatinya? Apakah aku berprakarsa untuk membantunya, atau apakah aku menunggu hingga aku terpaksa melakukannya secara moral atau jasmani? 
“Dia menyirami luka-lukanya dengan minyak dan anggur dan membalutnya” : dengan apa yang ia miliki, ia mendekati sesama dan dia banyak akal. Minyak dan anggur bukanlah bahan-bahan yang paling cocok untuk mengobati luka-luka, namun dia menggunakan apa yang ia miliki.  Dia tidak belajar keperawatan, namun hal ini tidaklah mencegahnya untuk memberikan perawatan yang mendasar ini.  
“Kemudian dia menaikkannya ke atas keledainya sendiri” : dia berbagi barang-barang yang ia miliki dengannya pada saat itu dan dia menggunakan semua kekuatan yang ia miliki untuk menolong orang ini.  Sekali lagi, ini menunjukkan kreativitas dan kesediaan untuk bertindak sangat jauh dalam berbagi dengan sesama.  Kita tidak mendengar orang yang malang itu berkata “Terima kasih”, sama sekali tidak ada hal yang timbal-balik.  Tidak disebutkan tentang ganti rugi, malah sebaliknya, orang Samaria itu membayar untuk penginapannya di losmen itu.  
Orang Samaria yang murah hati itu menjadi purbarupa dari mereka yang mengambil karitas dengan sangat serius dan benar-benar menginginkan untuk mengikuti Yesus dalam kasih manusiawinya.  Kami akan memberikan dua tokoh teladan lainnya dari sejarah yang begitu bernilai bagi kita, yakni Vinsensius de Paul dan Petrus Yosef Triest. 
7.1.  St. Vinsensius de Paul (1581-1660)
Vinsensius de Paul dilahirkan pada tgl 24 April 1581 di Pouy, Perancis.  Dia memutuskan untuk menjadi seorang imam untuk melarikan diri dari kemiskinan dan ditahbiskan pada usia 19 tahun.  Dari th. 1600 hingga 1612, dia pergi mencari uang, namun lambat laun dia bertobat.  Pada tgl. 12 Mei 1612, dia mengalami suatu konfrontasi yang berat:  di Clichy, dimana dia sedang bekerja sementara sebagai pastor paroki, dia dihadapkan pada kemiskinan ganda, baik kemiskinan material maupun spiritual.  Dia berubah sepenuhnya.  Pada th. 1617, dia mendirikan organisasi “Wanita-wanita Karitas,” yang beranggotakan wanita-wanita kaya yang ingin berbagi kelimpahan mereka dengan kaum miskin.  Pada th. 1626, dia mendirikan Kongregasi Misi yang memusatkan perhatian utama pada dukungan bagi pendidikan para imam dan misi-misi di paroki-paroki.  Akhirnya, pada th. 1633, dia bersama dengan Louise de Marillac mendirikan Puteri-Puteri Kasih yang membaktikan diri sepenuhnya pada perawatan kaum miskin dan sakit.  Itulah awal dari suatu model hidup kebiaraan yang baru.
Apa visi Vinsensius terhadap kaum miskin?  Dia memandang kaum miskin sebagai gambaran Kristus, dan dia menyebut mereka sebagai para majikannya yang harus dilayani dengan kasih.  “Seorang suster yang pergi keluar untuk menolong kaum miskin sepuluh kali sehari berarti melayani Tuhan sepuluh kali pula.  Bila kamu pergi kepada para budak yang kotor, kamu akan menjumpai Allah di sana.  Layanan yang kau berikan kepada kaum miskin itu diterima oleh  Allah seakan-akan karya ini ditujukan kepadaNya sendiri.”  Kita harus melayani kaum miskin dengan kasih.  “Hanya karena kita menunjukkan kepada mereka bahwa kita mengasihi mereka maka kaum miskin akan mengampuni kita bahwa kita menolong mereka,”  begitu kata Vinsensius pada akhir film “Tuan Vinsensius.”
“Jalan-jalan sangatlah panjang, tangga-tangga sangatlah tinggi, dan kaum miskin sering tidak tahu terima kasih.  Jeanne, kau segera akan menyadari bahwa karitas itu merupakan beban yang jauh lebih berat untuk dipikul daripada semangkuk sup atau sebakul kulit roti.  Namun buatlah dirimu tetap manis dan tersenyum!  Bukannya sekedar turun untuk memberikan mereka semangkok sup atau kulit roti.  Orang kayapun dapat melakukannya juga.  Kamu adalah gadis pembantu kecil dari kaum miskin.  Merekalah tuan-tuanmu yang mungkin sangat suka menuntut.  Benar-benar kamu segera akan menemukannya sendiri.  Meski mereka menjijikkan, kotor, tidak adil dan kasar, kamu senantiasa haruslah mengasihi mereka lebih banyak lagi. Hanya karena kamu menunjukkan kepada mereka bahwa kamu mengasihi mereka, maka kaum miskin akan mengampunimu bahwa kau memberi mereka roti.”

Vinsensius membangun relasi baru antara doa dan layanan kaum miskin.  Dia berkata bahwa kita tidak dapat mendekati kaum miskin tanpa doa:  “Dari perspektif manusiawi murni, hal ini mustahil kecuali Allah sendiri turut campur tangan.  Yesus Kristus harus membantu kita, atau malah kita yang harus membantuNya.”  Vinsensius adalah seorang manusia pendoa, dan tindakan-tindakannya yang besar hanya dapat dipahami bila kita memahami eksistensi kontemplatifnya.  Kasih Allah harus terus mengalir dalam kasih terhadap kaum miskin.  “Jika seseorang memanggilmu untuk mengunjungi seorang pasien yang miskin sementara kamu tengah berdoa, hentikanlah doamu, atau terlebih teruskanlah doamu.  Allah membutuhkanmu, sebab kasih mengatasi segala hukum dan aturan.  Ini berarti meninggalkan Allah demi Allah sendiri.”  Inilah cara mencapai doa yang terinkanasi:  “Marilah kita mengasihi Allah, namun marilah kita melakukannya dengan kekuatan tangan-tangan kita dan kucuran keringat di kening kita, sebab kasih afektif tidaklah berarti apapun bagi Allah jika tidak menghasilkan kasih efektif terhadap kaum miskin.”
Vinsensius mengembangkan cara-cara baru untuk mengungkapkan kasih kita terhadap kaum miskin.  Ini harus terjadi dengan rasa hormat dan sikap penolong.  “Janganlah lupa bahwa keprihatinan utamamu haruslah apa yang pertama-tama diharapkan Allah darimu, yakni keprihatinan utamamu haruslah melayani kaum miskin.  Merekalah tuan-tuan kita, memang merekalah  majikan-majikan kita, dan oleh karena itu kamu haruslah akrab dan ramah terhadap mereka.”  “Bersikaplah lembut hati dan ramah saat kamu merawat kaum miskin.  Kamu tahu bahwa mereka adalah majikan-majikan kita dan bahwa kita harus mengasihi mreka dengan lembut hati dan harus menghormati mereka.  Keyakinan batinmu tidaklah cukup: kasih dan kelembutan hati harus ditunjukkan pula.”
Dia memperhatikan hal-hal rinci, meskipun nyatanya dia menjadi seorang organisator karitas yang hebat.  Aspek universalnya tetap berkaitan dengan aspek pribadi. Dia telah mengamati sikap-sikap dan gerak-gerik dalam lingkungan bangsawan, dan berpikir bahwa mereka juga harus dimanfaatkan untuk merawat kaum miskin.  “Orang yang tengah bertugas akan menyiapkan santap siang dan membawanya kepada pasien.  Ia harus mulai dengan memberi salam hangat, menempatkan nampan di tempat tidur, menutupnya dengan serbet dan menaruh gelas, sendok dan roti di atasnya.  Ia akan membantu pasien itu membasuh tangan dan mengucapkan doa sebelum makan bersama dengannya. Lalu dia akan menuangkan sup ke dalam mangkuk, menaruh daging pada piring dan menempatkan semuanya ini pada nampan.  Dengan ramah dia akan mengajak pasien itu untuk mulai menyantapnya demi nama Tuhan dan Bunda Maria.  Semuanya ini harus dilakukan dengan kasih seakan-akan pasien itu adalah putranya sendiri.  Tuhan sendirilah yang berkata bahwa apa yang kau lakukan terhadap kaum miskin kau lakukan pula terhadap Dia.  Jika ada seseorang yang hadir untuk menemani pasien itu, dia akan mengunjungi pasien berikutnya. Akhirnya dia akan mengunjungi mereka yang merasa kesepian sehingga dia dapat tinggal lebih lama dengan mereka.” 
Sikap-sikap dasar sebagaimana ditunjukkan oleh Vinsensius ialah kesederhanaan dan kerendahan hati.  Seperti halnya Fransiskus dari Sales, sahabat karib Vinsensius, dia berbicara tentang kasih afektif dan efektif.  “Kasih afektif berasal dari hati, yakni kasih yang lembut hati.  Kasih efektif terkandung dalam usaha melakukan apa yang diinginkan atau diminta oleh orang yang kita kasihi.  Inilah kasih altruistik atau agape.  Dari kedua jenis kasih tsb., kasih efektif itulah yang terpenting.”  Kasih itu tanpa ukuran juga bagi Vinsensius. “D’avantage”, begitu ia biasa berkata: selalu lebih banyak lagi.  “Caritas Christi urget nos!”  Kasih Kristus mendorong kita...!
7.2.  Petrus Yosef Triest (1760-1836) 
Petrus Yosef Triest, Pendiri Bruder-Bruder Karitas dpat ditempatkan pada kategori yang sama dengan Vinsensius de Paul.  Saat wafatnya, dia digelari “Vinsensius Belgia” yang punya banyak makna.  Triest dilahirkan pada tgl. 31 Agustus 1760 di Brussels.  Dia menjadi seorang imam.  Saat dia hidup dalam persembunyian di Ronse dari th. 1797 hingga 1802 khususnya meninggalkan tanda yang sangat penting.  Pada masa itu, dia mengembangkan suatu spiritualitas yang mendalam, dan saat dia boleh berkhotbah di muka umum untuk pertama kalinya, dia memproklamirkan “misi”nya: “Aku memberi kalian teladanku, ajaranku, dan layananku.”  Setelah melewati Lovendegem, dia sampai di Ghent dimana dia menjadi kekuatan penyemangat bagi perawatan kaum miskin selama lebih dari 30 tahun.  Dia mendirikan tidak kurang dari 4 kongregasi, terlebih lagi dia mengembangkan spiritualitas kasih. 
Sebagaimana kami sebutkan di atas, dia menyampaikan misinya dengan cara yang sangat tepat dan penuh tuntutan:  “Tugas ketigaku, di samping mengajar dan memberikan teladan, ialah layananku: Aku harus memberimu pengawasanku, perawatanku, karyaku, istirahatku, tidak hanya sekali namun senantiasa, siang dan malam.  Panggillah aku semaumu, dan jangan sisakan aku ataupun takut mengusikku, sebab aku justru bahagia, seperti teladan Yesus Tuhanku, bila aku dapat memberimu istirahatku, kesehatanku dan bahkan nyawaku sendiri.”
Semua tindakannya ini muncul dari sikap kasih yang mendasar:  “Tiada hal lain sekuat kasih,” begitu katanya, “sebab kasih adalah sumber dari segalanya. Aku katakan padamu bahwa kasih memiliki daya khusus untuk menggerakkan seseorang dan mengalahkan rohnya karena kefasihannya mencapai kedalaman relung-relung hatinya.”  “Kau harus merawat orang sakit dengan rendah hati dan penuh hormat, dengan memandang mereka sebagai Kristus sendiri yang tengah menderita.  Jika ada penyakit-penyakit yang menakutkanmu, maka kamu harus mengandalkan kekuatan imanmu.  Benarlah bahwa orang memiliki keseganan alami untuk memenuhi tugas ini.  Namun kasih harus mengambil alih kedudukan alam.  Kasih memiliki daya yang melebihi alam.”
Namun kasih bukanlah suatu daya yang dapat diambil dari kodrat kita sendiri.  “Dia yang mengandalkan kekuatannya sendiri menyesatkan diri sendiri.  Untuk dapat mengasihi dengan segenap jiwamu, kita harus mengandalkan rahmat, memohon terus-menerus kepada Allah kita yang maha rahim.  Lakukanlah karya-karya kasihmu senantiasa dengan semangat iman.  Arahkanlah budimu kepada Allah.  Berikanlah dirimu sendiri, dan bila kamu lelah dan merasa hampa, carilah Tuhan, ketuklah pintu Guru tunggalmu. Karena hanya bersama Tuhan kita menemukan penebusan yang sejati.”
Dalam teks-teksnya, kita dapat menemukan banyak hal tentang kasih Allah, yang merupakan ilham kasih dari sesama kita.  “Allah mengasihimu, maka berusahalah untuk membalas kasihNya dan dan berusahalah untuk mengasihiNya dalam kebenaran.  Kemampuan hati kita untuk mengasihi Allah itu sebanding dengan hasrat kita untuk mengasihi Dia.”  Triest menyebut Ekaristi sebagai sakramen kasih:  “Dalam sakramen kudus ini, kasih Yesus tampak mengungguli bahkan lebih dari misteri inkarnasi.  Dalam inkarnasi, Yesus menyerahkan keilahianNya, namun dalam sakramen kudus ini Dia menyerahkan kemanusiaanNya.  Melalui inkarnasiNya, Dia mengambil rupa hamba, namun dalam sakramen ini Dia tersembunyi meskipun hadir dalam hosti kudus.  Karena sakramen kudus ini merupakan sakramen kasih, kita harus mendekatinya dengan kasih pula.  Kita harus mengasihi Allah yang begitu mengasihi kita.  Karena Dia menyerahkan diri kepada kita, kita harus memberi diri kita kepadaNya pula.  Karena Dia milik kita sepenuhnya, kita pun harus menjadi milikNya sepenuhnya.”
Kita hanya dapat hidup dalam kasih Allah jika kita berdoa terus-menerus: “Apa itu sebenarnya “berdoa terus-menerus”?  Maksudnya ialah hasrat menetap dari penyelamatan kita, dari hidup kekal kita bersama Allah.  Agar hasrat ini tak pernah luntur, kita harus bermeditasi secara teratur, dengan sadar meninggalkan segala kerepotan kita pada jam-jam tertentu setiap hari untuk menyalakan api itu, sehingga ia tetap menghangatkan hati kita.  Berdoalah dan bermeditasilah, sebab ingatlah bahwa seorang biarawan tanpa semangat doa itu laksana seorang serdadu tanpa senjata, seekor burung tanpa sayap, suatu kota tanpa benteng, dan badan yang tak berjiwa.”
Dari sikap mengasihi yang mendasar ini, Triest menaruh perhatian sangat khusus terhadap profesionalisme, yang harus diungkapkan pada taraf-taraf yang berbeda, khususnya mengeni peralatan dan akomodasi, substruktur layanan-layanan ilmiah dan profesional teknis, serta organisasinya.  Menurut Triest, penyediaan akomodasi dan peralatan yang baik merupakan konsekuensi dari rasa hormat terhadap orang banyak, dalam hal ini kaum miskin dan sakit.  Jika kita menghormati orang banyak, kita akan merawat mereka di rumah yang baik, di lingkungan yang bersih. Lingkungan sekitar haruslah memancarkan rasa hormat tsb.  Triest sangat mementingkan pelatihan para karyawannya, supaya mereka dapat memberikan perawatan secara profesional.  Usahanya untuk menerima Dr. Guislain guna merawat para penderita sakit jiwa dan tuntutannya agar ia membantu melatih para bruder, merupakan dasar dari penyelenggaraan layanan profesional yang berkualitas tinggi, sebagai konsekuensi karitas.  Jika anda mengasihi seseorang, maka anda ingin mendukung dan memelihara orang tsb. sebaik mungkin. 
Akhirnya perhatiannya secara utuh juga dicurahkan pada organisasi yang baik.  Dia memberikan para karyawannya suatu uraian tugas yang jelas, namun sekaligus dia menjamin agar struktur-struktur organisasionalnya tetaplah manusiawi.  Menurut Triest, kepemimpinan harus dilakukan dalam suasana keramahan dan dengan sikap suka menolong.  Sama seperti Vinsensius, dia mengkaitkan tanggung jawabnya untuk organisasi yang lebih besar dengan perhatian sangat khusus terhadap setiap orang secara pribadi:  “Perlakukanlah setiap orang dengan kelembutan hati dan keramah-tamahan.  Berusahalah untuk melayani sebanyak mungkin orang dan lakukanlah itu dengan senang hati.  Bantulah kaum miskin dan malang dengan penuh perhatian, dan berusahalah melalui sikap lembut hati, perkataan dan jawaban-jawaban kalian untuk menggantikan hal-hal yang mungkin kalian tak dapat lakukan atau berikan.  Janganlah menyimpan perasaan-perasaan enggan terhadap sesama kalian.  Hindarilah perasaan jijik sekecil apapun dengan mengabaikannya, dan dengan menawarkan bantuan bilamana perlu.  Janganlah kalian menunjukkan antipati atau ketidak senangan sekecil apapun terhadap satu sama lainnya. Janganlah menghakimi siapapun. Maafkanlah kekhilafan-kekhilafan yang dilakukan terhadap sesama dan terhadap dirimu sendiri.  Buatlah pendapat yang baik tentang siapapun juga.”
Visi tentang manusianya terungkap dengan jelas dalam sepucuk surat kepada Suster-Suster Karitas, dimana dia menempatkan karya-karya kasih terhadap kaum miskin dan sakit dalam perspektif kebangkitan.  Menolong orang berati memberikan kepada mereka kegembiraan kebangkitan.  “Bagiku bukanlah hal yang berlebihan untuk mengutip ayat Kitab Suci yang mengatakan: ‘Kalianlah allah-allah di atas bumi ini!’ Memang kalian melakukan seperti yang dilakukan oleh penyelenggaraan ilahi, karena kalian memberi kaum miskin dari Yesus Kristus, kalian membuat manna turun ke atas kaum lapar, kalian memberi minum mereka yang kehausan.  Kalian menyadari keadaan menyedihkan dari kaum yang tidak beruntung, kaum miskin dan sakit yang tak pernah sama sekali menikmati hari yang menyenangkan sekalipun, yang mana kita cenderung berkata ‘Matahari tampaknya tak pernah bersinar bagi mereka.  Bumi tampaknya hanya menghasilkan bunga-bunga bagi kaum kaya saja, sedangkan bagi kaum miskin hanyalah semak duri belaka.’  Malang sekali mereka yang kekurangan segala sesuatunya, yang hampir lebih menyamai orang mati daripada mereka yang masih hidup.  Berikanlah pakaian kepada orang-orang ini, yang dapat mereka gunakan untuk menutup diri mereka sendiri, dan siapkanlah obat-obatan dengan sarana-sarana yang dapat kalian gunakan.  Jika mereka tidak sembuh, sekurang-kurangnya untuk meringankan penderitaan mereka, untuk memberi mereka tempat tidur dan untuk mengempukkan bantal mereka sehingga mereka dapat membaringkan tubuh mereka yang terluka dan penat; untuk membersihkan dan membalut luka-luka mereka yang kotor dan berbau supaya menyegarkannya, apakah hal itu tidak membuat matahari bersinar bagi mereka, untuk menciptakan bumi yang baru?  Bukankah itu seperti membangkitkan mereka dari maut?”
Rama Triest, sebagaimana dia biasa dipanggil, bertindak melampaui batas-batas nalar yang alami, karena bagi dia kasih itulah, dan bukannya nalar, yang memiliki kata terakhirnya.  Lukisan Triest meminjamkan tempat tidurnya kepada orang yang sakit parah sementara dia sendiri tidur di atas kursi selama beberapa malam di pertapaan Ter Haeghen di Ghent menjadi salah satu teladan utama dari kepribadian Triest, seorang manusia karitas yang sejati!
 
PERTANYAAN-PERTANYAAN  –  BAB TUJUH
  1. Belas kasih ialah karitas dalam karya.  Bagaimana kita dapat memupuk kasih tanpa pamrih dalam karya kerasulan kita? 
  1. Santo Vinsensius mengembangkan suatu relasi unik antara doa dan karya.  Bagaimana kita dapat memberikan suatu tafsiran yang lebih bersifat diakonal terhadap doa kita? 
  1. Melihat dan menjumpai Yesus dalam diri kaum miskin, dalam diri sesama kita.  Apakah ini merupakan suatu kenyataan dalam hidup dan kerasulan kita?
  1. Apakah masih ada tempat bagi kasih individual secara konkrit dalam program keperawatan atau asuhan kita yang telah terorganisir? 
  1. Bagaimana kita dapat menyempurnakan perspektif kebangkitan dalam karya kerasulan kita?
  1. Apakah karisma Rama Triest masih hidup dalam karya kerasulan kita?